Poor Economics: Lima Catatan Penting Banerjee & Duflo

Jika berani jujur, sebenarnya tidak ada satu pun orang yang seratus persen mampu memahami fenomena dengan lengkap. Seorang pakar dan ahli sekalipun selalu menghadapi keraguan-keraguan dan kegagalan-kegagalan dalam memahami fenomena sosial dan ekonomi yang dipelajarinya. Termasuk fenomena kemiskinan. Hal paling mendasar – seperti menafsirkan kemiskinan – saja masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah tuntas. Apalagi untuk menyelesaikannya. Tak heran jika kemiskinan juga enggan beranjak dari perjalanan sejarah kemanusiaan. Demikian setidaknya kegelisahan yang ingin dibagikan oleh Abhijit V. Banerjee & Esther Duflo, pasangan suami istri penerima hadiah nobel ekonomi tahun 2019 ini, melalui salah satu buku lamanya berjudul “Poor Economics: A Radical Rethingking of The Way to Fight Global Poverty” (2011).

Banerjee & Duflo meyakini bahwa tidak ada magic bullets untuk mengatasi kemiskinan. No one-shot cure-all to eradicate poverty. Namun mereka juga menegaskan bahwa menyia-nyiakan jutaan orang miskin yang juga memiliki hak dan talenta untuk berkembang adalah sebuah dosa moral yang tidak bisa diampuni begitu saja. Oleh karena itu, dalam buku ini mereka berusaha membagi apa yang mereka tahu dan pahami soal kemiskinan dan bagaimana alternatif kebijakan untuk menyelesaikannya. Lima (5) refleksi Banerjee & Duflo dalam buku ini nampaknya sangat penting untuk direnungkan oleh kita semua yang sedang atau ingin berjuang mengangkat harkat dan martabat manusia lainnya yang terjebak dalam jerat kemiskinan.

Pertama, orang miskin kebanyakan tidak memiliki akses terhadap informasi dan cenderung percaya pada hal-hal yang tidak benar. Mereka tidak begitu yakin dengan manfaat imunisasi pada anak, menganggap pendidikan di usia dini tidaklah penting, tidak yakin berapa banyak pupuk yang harus mereka pakai, tidak tahu bagaimana HIV/AIDS demikian mudah menular, tidak tahu apa yang diperbuat oleh politisi yang mereka pilih, dan masih banyak lagi daftar informasi penting yang tidak sampai kepada mereka. Sebaliknya, ketika mereka meyakini sesuatu, kebanyakan justru sangat yakin pada hal-hal yang tidak benar yang mengakibatkan mereka salah dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Kombinasi antara informasi yang kurang ditambah keyakinan yang salah adalah praktik-praktik yang berakibat pada kesulitan mereka keluar dari penjara kemiskinan. Contoh kecil, seringkali pemimpin atau politisi yang terpilih mewakili mereka adalah dari golongan yang korup karena sentimen ketika memilih adalah basis-basis informasi yang menyesatkan. Memilih hanya berdasar kesamaan etnis ketimbang rekam jejak adalah contoh bagaimana sekeping informasi yang tidak sampai bisa menjerumuskan orang miskin terus dipimpin oleh politisi korup yang menyengsarakan mereka.

A simple piece of information makes a big difference. Demikian kira-kira rumusnya.

Kedua, orang miskin sebenarnya memiliki beban tanggung jawab yang teramat kompleks. Masalah mereka tidaklah sesederhana gubug yang didiaminya. Mulai dari persoalan paling dasar, seperti akses terhadap air bersih dan toilet, sampai dengan akses terhadap pendidikan atau pasar, sangatlah berat. Kondisi yang serba terbatas semacam itu menyulitkan sesorang untuk mampu mengambil keputusan yang benar. Sementara kesan yang sering timbul adalah mereka malas. Padahal, jangankan berpikir untuk menabung demi masa depan, untuk kebutuhan besok saja masih menjadi tanda tanya. Maka menjadi konyol jika kita terus menyalahkan orang miskin karena kesalahan-kesalahan mereka dalam mengambil keputusan. Justru sebaliknya, jika ingin orang miskin bisa berpikir atau memiliki mindset seperti tetangganya yang lebih kaya, maka jalan terbaiknya adalah dengan mempermudah urusan-urusan dasarnya itu dulu.

Their live could be significantly improved by making it as easy as possible to do the right thing”

Ketiga, sulit bagi orang miskin untuk menjangkau atau bertahan di “pasar”. Mereka tidak bisa berhutang ke Bank karena tidak memiliki jaminan. Kalau pun akhirnya bisa mendapatkan pinjaman diluar Bank resmi, maka bunganya lebih mematikan dibanding dengan bunga Bank biasa. Di kebanyakan negara, maju maupun berkembang, pasar asuransi kesehatan masih belum benar-benar menjangkau kebutuhan mereka. Namun kabar baiknya, di beberapa tempat, kehadiran teknologi cash transfer – melalui telepon genggam misalnya – telah berhasil membantu mereka melompati pagar berduri birokrasi keuangan yang terlalu panjang tersebut. Jika pemerintah bisa mengambil lebih banyak inisiatif dan inovasi yang menjamin infrastruktur layanan dasar keuangan tersebut, bukan tidak mungkin menjadi terobosan luar biasa bagi pengentasan kemiskinan.

Keempat, sebuah negara miskin kadang bukan karena sumber daya alamnya yang sedikit, tetapi karena mereka memiliki sejarah masa lalu yang tidak menguntungkan. Banyak program dan kebijakan yang sukses di sebuah negara tetapi gagal di negara lainnya. Padahal isi dan metodenya sama. Banyak program untuk orang miskin yang seharusnya bisa menolong, jatuh ke tangan yang salah. Tidak tepat sasaran. Solusi untuk persoalan semacam ini kadang harus kembali pada persoalan trust, baik vertikal (kepada elit) maupun horizontal (kepada sesama warga lainnya). Kepercayaan publik ini tidaklah instan, kebanyakan dipengaruhi oleh dinamika dan sejarah perjalanan bangsa tersebut.

Dari pengalaman di lapangan, a small revolution can be achieved by making sure that everyone is involved. Kepercayaan bisa ditumbuhkan mulai dari hal kecil seperti memastikan setiap warga hadir dan berpartisipasi dalam rapat-rapat di lingkungan terdekatnya; memonitor secara kolektif kinerja pemerintah setempat dan membuatnya semakin akuntabel; mengawasi sepak terjang pejabat atau politisi di setiap level dan memastikan mereka bekerja dengan semestinya; dan tentu saja memastikan setiap informasi dari layanan publik yang dibangun itu benar-benar sampai kepada semua warga, wa bil khusus kepada mereka yang miskin dan membutuhkan.

Kelima, ekspektasi terhadap apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan oleh seseorang seringkali diperkuat oleh persepsi yang dibenarkan atau terus-menerus didengungkan oleh lingkungan sekitar. Semacam self-fulfilling propechies. Seorang anak menyerah dalam belajar karena gurunya seringkali berkata di kelas bahwa ia bukan siswa yang pintar dan dipastikan gagal di dunia akademis; seorang politisi menyerah berbuat baik dan menaati hukum karena tidak mendapatkan penghargaan atau apresiasi positif dari tindakannya itu; pedagang tidak berupaya keras untuk mencicil pinjamannya karena dia terlanjur tahu bahwa meskipun ia membayar hutangnya tidak akan pernah lunas; bidan dan dokter berhenti mengunjungi desa terpencil karena merasa kedatangannya tidak diharapkan; dan seterusnya.

Itu semua terjadi karena ekspektasi yang tidak nyambung. Berakibat pada minimnya perbaikan karena orang tidak beranjak maju. Jalan di tempat atau bahkan mundur. Ekspektasi ini kadang tidak terlihat namun lebih menentukan dari hal-hal lainnya. Oleh karenanya, membangun program atau lingkungan yang bisa menyelaraskan ekspektasi semua yang terlibat menjadi krusial. Banerjee dan Duflo percaya bahwa “the role of expectations means that success often feeds on itself. When a situation starts to improve, the improvement itself affects beliefs and behavior. Hipotesis ini menegaskan bahwa kita – pemerintah atau para ahli – seringkali memiliki ekspektasi yang terlalu rendah pada orang miskin dan ragu-ragu dalam memberikan kepercayaan kepada mereka.

Small changes can have big effects. One should not necessarily be afraid of handing things out (including cash) when needed to get a virtuous cycle started.

Kelima hal di atas tentu saja hanya membincangkan aspek mikro dari orang miskin dan kemiskinan. Tidak berbicara secara makroekonomi. Tapi memang itulah yang dipesankan oleh Banerjee & Duflo, bahwa pekerjaan rumah kita sesungguhnya adalah kemalasan untuk benar-benar mendengar dan memahami logic dari orang miskin. Kita terlalu malas berpikir dan mendekonstruksi ulang apa-apa yang selama ini dianggap mapan dan benar. Kita malas menulis buku panduan pengentasan kemiskinan baru yang lebih faktual dan terlalu nyaman menggunakan ”tool box” yang mungkin sudah karatan. Lebih dari itu, bukan saja kita perlu membangun tool box yang bisa terus menerus direvisi, tetapi juga bagaimana memiliki keahlian dan kesabaran untuk memahami why the poor live the way they do? Barulah kemudian kita bisa mengidentifikasi kemiskinan dengan tepat dan meracik ramuan yang bisa benar-benar menyembuhkannya.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *