The Big Three in Economics

Tidak berbeda dengan sosiologi yang mengenal tiga ”dewa”, Durkheim, Marx, dan Weber, dalam ilmu ekonomi, ternyata raksasa dewa-nya juga ada tiga: Smith, Keynes, dan Marx. Demikian pandangan Mark Skousen, penulis buku ”The Big Three in Economics” (2007).

Selama tiga ratus tahun terakhir, pemikiran tiga dewa ekonomi itu demikian menonjol dan menjadi sumber rujukan yang tak pernah habis digali dan diperdebatkan. Masing-masing punya pengikut yang setia dan kadang-kadang juga “galak” (fanatik). Ketiganya pun terlanjur dianggap sebagai simbol tiga pendekatan berbeda, baik secara filsafat ekonomi maupun politik.

Dimulai pada abad ke-18, Adam Smith (Scotlandia), mengenalkan apa yang kita sebut sebagai tatanan demokrasi liberal yang terdiri dari pasar bebas dan pemerintahan yang terbatas. Ia secara runtut menjelaskan bagaimana suatu negara berkembang dan memajukan standar kehidupan warganya melalui pasar bebas tersebut.

Lalu pada abad ke-19, Karl Marx (Jerman) mengilhami para pekerja dan intelektual yang merasa dicabut haknya oleh kapitalisme industri dan berusaha menawarkan solusi radikal terhadap ketidaksetaraan, keterasingan, dan eksploitasi tersebut.

Pada abad ke-20, John Maynard Keynes (Inggris) berusaha menstabilkan sistem pasar yang rawan krisis melalui kebijakan fiskal dan moneter. Ia seolah berada di tengah-tengah antara pendulum ekstrem kanan (yang direpresentasikan oleh Adam Smith/konservatif) dan ekstrem kiri (yang diwakili oleh Karl Marx/radical).

Gambaran ekstrem kanan dan kiri ini menurut Skousen tidaklah tepat. Pendulum tersebut terlalu dipengaruhi oleh spektrum politik dibandingkan dengan spektrum ekonomi itu sendiri. Sayangnya, ini pula yang paling banyak digambarkan dalam banyak buku pelajaran ekonomi.

Kenapa bermasalah?

Pertama, menggunakan metafora kiri-kanan ini sama saja dengan memperlakukan Karl Marx dan Adam Smith setara, yaitu sama-sama “ekstrimis”. Implikasinya adalah keduanya bisa dianggap sama buruknya, tidak masuk akal dan harus ditolak.

Kedua, dengan adanya dua kutub ekstrem ini, maka posisi jalan tengah yang moderat yang dipegang oleh John Maynard Keynes, menjadi tampak lebih baik, seimbang dan ideal dibanding dua posisi dewa lainnya. Padahal tidak demikian menurut Skousen.

Sebagai alternatif, Skousen menawarkan alternatif pendekatan yang lebih hierarkis. Ia mengambil tiang totem dari cerita rakyat Indian sebagai perumpamaan, dimana semakin tinggi penempatannya di tiang totem, semakin tinggi pula peringkat signifikansinya. Alih-alih membandingkan ekonom secara horizontal pada pendulum atau spektrum, Skousen memilih untuk memeringkat mereka berdasarkan ketinggian pencapaian menggunakan struktur tiang totem ini.

Menurut Skousen, sebagian besar ekonom dan sejarawan pemikiran ekonomi menganggap Adam Smith-lah yang tertinggi dari Tiga Raksasa ini. Model pasar kompetitifnya merupakan “teorema fundamental pertama ekonomi kesejahteraan” dan dianggap sebagai “proposisi substantif terpenting dalam semua bidang ekonomi”.

Di bawah Adam Smith adalah John Maynard Keynes. Model Keynesian ini terus bertahan sebagai model ekonomi makro dalam analisis kelembagaan dan kebijakan. Sebagai pembela nilai-nilai borjuis, Keynes mendukung kebebasan individu, tetapi dalam skala yang lebih besar, ia berpikir bahwa intervensi ekonomi makro (peran negara) sangat penting untuk menstabilkan ekonomi, pandangan yang masih dipegang oleh banyak ahli ekonomi saat ini.

Orang ketiga di tiang totem adalah Karl Marx. Meskipun dukungannya terhadap ekonomi komando-terencana-terpusat di tingkat mikro dan makro sebagian besar telah didiskreditkan, interpretasi Marxis tentang konflik kelas dan krisis ekonomi masih menarik perhatian para ekonom, sosiolog, dan praktisi kebijakan publik di seluruh dunia hingga saat ini.

Nah, sekarang kita sudah berada di abad-21. Kira-kira, siapakah “dewa baru” yang akan ditulis dalam buku-buku pelajaran ekonomi mendatang ya?