The Thought of Work

KerjaKerja! Kerja!” Apa itu Kerja?

Slogan di atas jamak terdengar belakangan sebagai jargon politik pemerintah di era Presiden Joko Widodo-Yusuf Kalla. “Kerja” sebagai mantra yang membius para pengagum rezim, sekaligus “mengunci” rapat para pengkritik kinerja presiden sebagai – secara tidak langsung – masuk ke dalam kelompok “anti kerja”. Proyek-proyek infrastruktur mercusuar seperti jalan tol, pelabuhan, tol laut, bendungan, dan lain sebagainya menjadi simbol kerja nyata pemerintah. Kerja kongkrit dengan hasil kasat mata yang kemudian secara politik menjadi klaim kesuksesan rezim.

Namun, apa sebenarnya kerja itu?

Jika kita bertanya pada presiden Joko Widodo, maka saya yakin kerja yang dimaksud adalah kerja sebagai pelayanan (work as service). Baik kerja untuk melayani keluarga, komunitas, perusahaan, maupun negara dan Tuhan. Tapi apakah itu saja yang dimaksud kerja?

Hasil perenungan John W. Budd menelurkan sepuluh definisi kerja yang dituangkan dalam bukunya berjudul “The Thought of Work” (2011). Kesepuluh definisi dan konsep tersebut ternyata berasal dari akar intelektual yang berbeda satu sama lain. Konsekuensinya, perbedaan akar intelektual juga mengandung perbedaan akar kultural, makna, pengertian, dan dampak sosio-psikologis lainnya ketika kata “kerja” itu dikampanyekan dan menjadi acuan suatu masyarakat/negara.

Jika kita memaknai kerja sebagai beban sosial sebagai anggota masyarakat, sebuah kewajiban yang mengikat dan memaksa, maka kita mungkin termasuk kelompok yang menganggap kerja sebagai kutukan (work as curse). Anggapan bahwa kerja adalah bagian dari kutukan berasal dari teologi barat (Greco-Roman Philosophy).  Sebaliknya, jika kita menganggap bahwa kerja adalah kebebasan (work as freedom), maka kita mungkin termasuk yang menganggap bahwa dengan bekerja kita mampu menyalurkan dan mengekspresikan kreativitas kita. Pandangan kedua ini berakar dari paham liberal-individualisme yang percaya bahwa setiap individu independen dari alam maupun individu lainnya untuk mengambil keputusan atas hidupnya, termasuk pekerjaan apa yang dipilih untuk ditekuninya.

Dalam komunitas atau masyarakat yang sebagian besar warganya menganggap kerja sebagai kutukan tentu sangat berat bagi pemimpin untuk membuat terobosan kolektif. Setiap gagasan tentang kemajuan, progresifitas, dan perubahan akan mendapat “perlawanan” (dalam beragam bentuk, termasuk kemalasan, pengingkaran, hipokrasi) dan minimnya inisiatif. Sebaliknya, kerja dalam masyarakat yang mempercayai bahwa pekerjaan itu melekat sebagai identitas (work as identity) dan kepuasan personal (work as personal fulfilment), maka inisiatif dari individu dalam mengisi “pembangunan” tidak perlu dikhawatirkan.

Beragam makna dan definisi kerja yang diungkap di buku ini – sekalipun kita malas mempertanyakan – menunjukkan bahwa  kerja adalah sesuatu yang fundamental dalam relasi sosial manusia. Penulis buku ini menawarkan ulasan yang komprehensif, baik secara historis maupun kekinian, tentang perubahan makna kerja di tengah masyarakat. Pendekatan multidisiplin untuk memahami makna kerja berhasil menjelaskan kaitan antara karakteristik suatu bangsa terkait dengan konsepsi warganya terhadap kerja itu sendiri.

Sebagai ilustrasi, kenapa bangsa China, Jepang, dan Korea memiliki etos kerja yang berbeda dengan masyarakat di negara-negara timur tengah, melayu, maupun Afrika? Coba cek apa makna kerja bagi mayoritas warga di negara-negara tersebut? maka bukan tidak mungkin kita akan menemukan penjelasan yang meyakinkan kenapa etos kerja mereka demikian berbeda. Buku ini sangat sesuai bagi peminat kajian tentang kerja dan pengaruhnya dalam pembentukan etos maupun karakter suatu masyarakat. So, apa kira-kira makna kerja bagimu?

=========

Catatan Kaki:

Sepuluh Definisi Kerja Menurut John W Budd:

  1. Work as a curse
  2. work as freedom
  3. work as a commodity
  4. work as occupational citizenship
  5. work as disutility
  6. work as personal fulfillment
  7. work as a social relation
  8. work as caring for others
  9. work as identity
  10. work as service

(Peresensi: Yanu Prasetyo)