Kongres JAMESTA 2021: Catatan Hari Pertama

Kongres JAMESTA 2021 telah dibuka dan dimulai pada tanggal 20 Januari 2021. Rencananya, kongres akan digelar selama tiga hari dengan beragam sesi diskusi dan talk show. Catatan dibawah ini adalah kutipan atau poin-poin penting yang dicatat oleh IndoBIG Network selama Kongres. Tentu tidak semua hal atau narasumber dikutip secara lengkap dan mungkin saja terdapat bias dalam penulisan catatan ini. Namun diharapkan, catatan ringkas ini dapat membantu pembaca untuk mendapatkan gambaran tentang apa saja yang telah dibahas selama Kongres Jamesta 2021 ini.

Ah. Maftuchan (The Prakarsa)

Bagaimana menuangkan gagasan Jamesta untuk negara berkembang seperti Indonesia? sebelum pandemi COVID-19, gagasan ini nampak utopis. Namun, pasca pandemi COVID-19, Jamesta justru semakin relevan dan bisa menjadi jalan keluar yang menjanjikan.

Krisis adalah waktu terbaik untuk melakukan “reformasi mendasar”, termasuk dalam hal jaminan dan perlindungan sosial. Alasan ini menjadi salah satu dasar dari diselenggarakannya Kongres Pertama Jamesta tahun 2021 ini.

Anwar “Sastro” Ma’ruf (KPRI)

Jamesta bisa menjadi alat untuk melaksanakan mandat konstitusi dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih Adil, Setara, dan Sejahtera.

Sugeng Bahagijo (INFID)

Jamesta mempermudah pemulihan sosial ekonomi. Vaksin memulihkan kita secara kesehatan, namun secara sosial ekonomi masih menjadi “misteri”. Terutama memulihkan kondisi kelas menengah bawah.

Jamesta, jika diterapkan, akan meningkatkan “kehadiran” negara di mata publik dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan demokrasi itu sendiri.

Dulu, ide “bagi-bagi uang” dianggap tidak produktif, namun kini, sudah banyak riset yang berpendapat sebaliknya. Ditambah dengan tantangan ekonomi, teknologi, dan dunia yang ada saat ini, Jamesta menjadi semakin mendesak.

Sonny Mumbunan (Basic Income Lab, UI)

Kita perlu melihat bahwa skema-skema jaminan sosial yang ada saat ini sudah tidak lagi “mampu” untuk menghadapi problem-problem kekinian. Sehingga, kita perlu untuk memikirkan alternatif ulang, termasuk Jamesta ini.

Jamesta, bukanlah soal kemampuan (mampu atau tidak), tapi soal terputusnya realisasi dari potensi (anggarannya). Misal, jakarta mampu secara APBD memberikan Jamesta, namun belum mampu/mau mengimplementasikannya.

Di sisi lain, sinergi antara fiskal dengan moneter ternyata juga bisa terjadi selama pandemi. Padahal, selama ini “sinergi” itu sulit untuk dibayangkan. Artinya, ada kemungkinan untuk “membicarakan” ide-ide yang lebih besar. Imajinasi adalah kunci! (“Besar” dan “Kecil” pembiayaan itu adalah soal imajinasi).

Herni Ramdlaningrum (The Prakarsa)

Pro dan Kontra terhadap UBI atau Jamesta ini memang wajar muncul dimana-mana. Namun jangan lupa, percobaan atau eksperimen Jamesta ini juga sudah dilakukan di banyak negara, baik negara maju maupun berkembang seperti di Afrika dan India. Hasil evaluasi eksperimen, baik dari internal maupun eksternal, menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak negatif basic income itu tidak terbukti.

Bagaimana dengan persepsi orang Indonesia? kajian Prakarsa menunjukkan bahwa 68% responden mendukung Jamesta untuk mengatasi ketimpangan pendapatan. Ditambah, Jamesta diyakini juga akan bisa menyentuh atau memenuhi kebutuhan unpaid workers, seperti ibu rumah tangga pada umumnya.

Rizki Estrada (KPRI)

COVID-19 saat ini dampaknya universal, maka demikian pula dengan Jamesta. Mereka yang kaya dan miskin juga memiliki hak yang sama. Selama ini, banyak pendekatan penanggulangan kemiskinan menggunakan kriteria yang tumpang tindih dan berbeda-beda antar lembaga. Jamesta memberikan alternatif dan perspektif yang baru dari sisi universalitas dan tanpa syarat. Melalui pendekatan Hak dan Universal ini, maka Jamesta adalah “transformasi” itu sendiri.

Misbah Hasan (FITRA)

Pembagian kewenangan dan koordinasi antar pemerintah penting untuk dilihat. FITRA sudah melakukan kajian pra dan ketika pandemi berlangsung. Urusan pemerintah dibagi tiga, urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum (pasal 9 UU no 23 tahun 2014). Urusan konkuren, ada yang wajib (pelayanan dasar) maupun urusan pilihan (non pelayanan dasar). Progam perlindungan sosial menyebar di semua urusan konkuren, baik untuk pelayanan dasar, non-dasar, maupun urusan pilihan. APBN dan APBD digunakan untuk menjalankan urusan pemerintah tersebut.

Anggaran fungsi perlindungan sosial meningkat cukup signifikan selama tiga tahun terakhir dan tersebar di berbagai K/L dengan potensi penyimpangan yang tinggi. Banyak “program pendukung” perlindungan sosial dengan anggaran yang cukup besar dan tersebar di berbagai K/L.

Di level daerah, masih banyak yang belum patuh terhadap realokasi dan refocusing APBD 2020 untuk penanganan COVID-19. Selain rendahnya kepatuhan daerah, realisasi jaring pengaman sosial di lapangan juga rendah (kurang dari 50%).

Tujuh potensi dan bentuk korupsi bantuan sosial: (1) pendataan serampangan/DTKS tidak updated (2) penggelapan dana bantuan (3) pemotongan/pungutan liar oleh oknum (4) jumlah bantuan tidak sesuai dengan yang diterimakan (5) politisasi bantuan untuk kampanye pilkada/pilkades (6) konflik kepentingan dan (7) kick back (fee) pengadaan bansos.

Rekomendasi: transparansi dan akuntabilitas. Transformasi sistem dan tata kelola perlinsos (manajemen dan partisipasi publik) melalui JAMESTA.

Muhammad Cholifihani (Kementerian PPN/Bapenas)

Bagaimana (rencana) jaminan sosial dalam lima (5) tahun ke depan? prioritas kita adalah agar Indonesia bisa menjadi negara dengan pendapatan menengah tinggi yang sejahtera, adil, dan berkesinambungan, ini topik utama RPJMN 2020-2024. Sementara itu, percepatan pemulihan ekonomi dan resformasi sosial menjadi tema utama RKP 2021 (perpres 86/2020).

Ada 4 hal yang akan didorong terhadap SJSN lima tahun ke depan: (1) jaminan kehilangan pekerjaan/unemployment benefit (2) Peningkatan efektivitas jaminan kesehatan/JKN (3) keberlanjutan pendanaan dan penguatan tata kelola SJSN dan (4) Penguatan kelembagaan SJSN.

Prasyarat utama reformasi perlindungan sosial antara lain adalah pengembangan sistem pendataan terintegrasi, pengembangan distribusi secara digital (digitalisasi), adaptasi skema bantuan (bansos adaptif), dan pengembangan skema pembiayaan yang inovatif, ekspansif, dan berkesinambungan.

Sonny W. Manalu (Staf Ahli Menteri Sosial)

Korupsi itu ada di segala bidang, tidak hanya dalam praktek “perlindungan sosial” saja. Jadi problem korupsi di Indonesia itu sangat kompleks.

Secara historis, Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state) dimana negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memberikan jaminan pengaman sosial bagi setiap warga negaranya. “Negara memajukan kesejahteraan umum” tercakup dalam pembukaan UUD 1945.

Kementerian sosial bukanlah lembaga yang korup! Jika ada satu dua oknum yang tersandung, namun tidak berarti bahwa seluruh lembaga menjadi korup. Kemensos saat ini ada dimana-mana dan tetap membantu rakyat.

Bagaimana mewujudkan welfare state tadi? aspirasi tersebut diimplementasikan dalam beberapa bentuk, seperti “fakir miskin dipelihara oleh negara”, “program wajib belajar (BOS)”, “Program Keluarga Harapan”, “Bantuan Pangan Non-Tuni”, “Jaminan Kesehatan (subsidi PBI untuk 131.418.141 jiwa)”, dan Pendampingan Sosial”. Bahkan di era pandemi, bantuan-bantuan tersebut telah diperbesar dan diperluas. Ini luar biasa jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Brunei, misalnya.

Tentu saja masih banyak masalah disana-sini, namun pendekatan pendampingan sosial tetap terus kita coba laksanakan (7.500 TKSK di Kemensos, 40 ribu pendamping PKH, 37.000 Taruna Siaga Bencana, 15.000 SAKTI PEKSOS, dan ribuan pelopor perdamaian). Ini semua potensi masyarakat dari Sabang sampai Merauke di akar rumput untuk mengawal visi negara kesejahteraan tadi.

Prinsip-prinsip transformasi perlindungan sosial di Indonesia:

(1) Berbasis Data yang kuat dan akurat

(2) Kriteria kemiskinan yang berkeadilan dan non-generalisasi

(3) Pendekatan buttom-up

(4) Menghindari bantuan langsung non-transfer

(5) Memanfaatkan teknologi digital

(6) Pendampingan yang bertanggung jawab

(7) Pengawasan dan penegakan aturan hukum yang tugas.

Suyadi (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK)

Jaminan sosial dan bantuan sosial itu berbeda. Celah korupsi dalam jaminan sosial adalah pada aspek penggunaan dana segar untuk investasi dan pengaturan rekanan. Dalam bantuan sosial, celah korupsi itu dari regulasi dan tumpang tindih kewenangan potensi. Akurasi data menjadi sangat penting.

Bansos ini ada di banyak kementerian, hanya saja data rujukannya tidak sama. Temuan kita di sisi akurasi dan validitas data masih bermasalah. Misalnya, Data DTKS belum padan dengan NIK. Ada warga yang berhak tidak masuk DTKS, sementara yang tidak berhak malah masuk.

Problem selanjutnya adalah integrasi dan transparansi anggaran. Masih banyak pengaduan masyarakat yang kita terima. Celah lainnya adalah pada celah pengadaan, yaitu proses penunjukan rekanan (“makelar”), mark up harga (karena banyak subkontrak), mark up kualitas barang (bantuan sembako ada merek-merek yang tidak terkenal).

Tantangan dalam pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan: korupsi dan fraud (klaim fiktif jaminan sosial), banyak kasus perusahaan daftar sebagian (PDS) TK dan PDS upah, dan belum terintegrasinya program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Tantangan dan pelaksanaan jaminan sosial kesehatan: pengawasan fraud, defisit, dan awareness.

M. Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan 2014-2019)

Secara konstitusional, konsepsi dan konstruksi negara kita adalah negara kesejahteraan. Kita perlu memastikan setiap orang bisa melakukan mobilitas vertikal, tidak hanya survive. Batasan antara miskin dan tidak miskin (BPS) itu tipis, jadi sangat rentan untuk bertambah. Ini tantangan kita yang pertama.

Revolusi industri 4.0 adalah tantangan yang tidak terelakkan. Mereka yang punya skill saja bisa jadi tergusur karena tidak relevan lagi keahliannya. Apalagi yang tidak punya skill. Jamesta adalah ide yang penting dan sangat bagus, meski pelaksanaannya tidak mudah. Perlu teknokrasi yang matang. Mulai dari desain, undang-undang, hingga penerapannya harus disusun dengan matang.

Nining Elitos (Ketua Umum KASBI)

Selama pandemi ini, pemerintah menerapkan kebijakan PSBB, namun para buruh justru dijadikan “tumbal” dan tidak mendapat prioritas untuk dilindungi. Banyak buruh yang menjadi korban PHK, dirumahkan, dan semakin memprihatinkan kehidupannya. Jamesta ini perlu disambut baik dan harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan kita semua. Jamesta bisa menyelamatkan kehidupan warga yang saat ini sangat membutuhkan, bukan hanya buruh di sektor industri saja.

Pong Harjatmo (PARFI)

Bioskop dan industri layar lebar hari ini tiarap karena COVID-19. Digitalisasi sebenarnya sebenarnya tidak jadi masalah, karena semua sudah industri hiburan sudah beradaptasi dengan teknologi digitalisasi. Uang tunai menurut saya kurang mendidik untuk “struggle to life“. Lebih baik memberikan “kail” daripada “ikan”nya.

Dewi Kartika (KPA)

Secara ideologi, Jamesta ini sudah sesuai. Namun tetap perlu ada sikap kritis dan evaluasi terhadap seluruh model jaminan sosial maupun bantuan sosial yang sudah ada. Misal, banyak program yang terburu-buru tanpa mempersiapkan aspek datanya. Ide bagus, tapi implementasi tidak cocok atau sesuai kebutuhan.

Di sektor pertanian, resiliensi pertanian keluarga/petani kecil terbukti cukup kuat. Namun jika berbicara soal agraria, maka penguasaan alat produksi (tanah) masih dihindari oleh pemerintah, padahal ini masalah struktural. Yang membuat petani tidak sejahtera adalah karena kebanyakan petani kita adalah petani gurem. Setengah hektar per keluarga petani itu pas-pasan sekali. Perlu diperbaiki terlebih dahulu problem struktural ini.

Kartu tani, misalnya, problem mendasarnya adalah tidak tepat sasaran dalam implementasinya. Jadi, salah satu pra-kondisi Jamesta adalah basis data dan informasi yang terintegrasi menjadi penting. Di lapangan, pupuk subsidi bahkan tidak bisa diakses oleh mereka yang memiliki kartu tani.

Asuransi pertanian juga sudah ada (jaminan gagal panen). Masalahnya, kebanyakan yang menerima manfaat adalah poktan dan gapoktan. Sementara mayoritas petani tidak bergabung dengan poktan/gapoktan. Ada problem diskriminasi akses disini. Intinya, problem struktural agraria ini menjadi penting untuk diselesaikan terlebih dahulu.

Dika Moehammad (SPRI)

Kritik SPRI terhadap program-program perlinsos (PKH, BPNT, dan BST):

  1. Sasaran penerima belum mencakup semua keluarga miskin
  2. Mekanisme pemutakhiran data penerima manfaat panuh masalah
  3. Manfaat bantuan belum mampu mensejahterakan
  4. Praktek pelaksanaan penuh masalah (pungli, pengawasan dan pengaduan tidak efektif, sosialisasi belum maksimal)
  5. Tidak membuka ruang keterlibatan rakyat dari mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Hasil audit sosial Bansos 2020: sekitar 80.9% warga menyatakan bantuan habis kurang dari seminggu, bantuan tidak cukup sehingga 83% responden masih keluar rumah dan bekerja (takut dipecat). Oleh karena itu, SPRI menganggap Jamesta ini sebagai sebuah “resolusi dalam ketidakpastian”.

Catatan dan harapan lain, jangan sampai Jamesta menghapus bansos untuk keluarga miskin yang sudah ada.

Yaya Nur Hidayati (Walhi)

Jamesta bisa menjadi safety net dalam masa pandemi dan dapat digunakan untuk menggerakkan ekonomi lokal. Namun demikian, dalam konteks Indonesia, ada perbedaan dengan kondisi di negara-negara maju. Misal, sektor pertanian di Indonesia masih memerlukan banyak SDM, sementara di negara maju sudah terjadi otomasi/industrialisasi. Maka, Jamesta ini mestinya menjadi “pelengkap” dari reformasi Agraria. Jangan sampai Jamesta ini menjadi sumber pendapatan utama, karena akan tetap banyak keluarga yang rentan. Selain itu, model ekonomi kita juga perlu diubah agar negara memprioritaskan kebutuhan domestik terlebih dahulu. Jangan sampai Jamesta habis digunakan untuk membeli produk-produk dari industri besar (bukan industri atau produk lokal). Dengan demikian, ekspor-impor bisa dikurangi dan jejak karbon pun bisa ditekan jika pemerintah menjadikan warga negara sendiri sebagai pasar utamanya.

Abdon Nababan (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Penerapan Jamesta sebenarnya bisa mendorong perbaikan data kependudukan itu sendiri. Selain itu, dari sisi pendanaan, negara mampu dan sanggup membiayainya jika korupsi dan penggelapan uang negara bisa diatasi atau dicegah.

Dari sisi masyarakat adat, problem di lapangan adalah sudah banyak masyarakat adat yang kehilangan atau dirusak sumber daya dan kekayaan adatnya. Pemiskinan ini sudah berlangsung lama, sehingga dengan ide Jamesta ini diharapkan dapat membantu masyarakat merevitalisasi kembali sumber daya kulturalnya. Selain itu, Jamesta jangan sampai menjadi justifikasi untuk memperluas industri-industru ekstratif. Tanpa pencegahan itu, Jamesta justru bisa memperparah situasi yang ada.

Sarath Davala (BIEN)

Negara berkembang punya masalah mendasar seperti kemiskinan, jumlah penduduk yang banyak, dan masalah infrastruktur fisik dan sosial lainnya. Namun, tiga puluh tahun terakhir, ada perubahan global dalam hal migrasi industri global. Banyak industri manufaktur dan industri jasa masuk ke negara-negara berkembang, seperti India, Bangladesh, Vietman, Indonesia dan lain-lain. Ditambah, disrupsi teknologi hari ini, turut mengubah kondisi ekonomi di negara maju maupun global. Dalam kondisi inilah, temporary jobs dan precariat jobs menyebar luas dan mendorong perbincangan soal basic income mengemuka untuk mengatasi global employment crisis (plus hanya 5 persen populasi dunia yang hidup di sektor formal, 95 persen berada di sektor informal).

Problem kedua adalah welfare crisis, terutama di negara maju. Dulu, perlindungan sosial adalah pilihan. Hari ini, ia menjadi kebutuhan bagi semua karena kita semua menjadi prekariat dan tidak memiliki social security/secure jobs. Inilah era dimana kita harus melindungi mayoritas dengan Jamesta.

Problem ketiga adalah ecological crisis. Kita harus menyelamatkan planet bumi, karena tidak ada planet cadangan untuk kita. Ketiga problem ini, membutuhkan pendekatan komprehensif dan progresif yang berbeda. Masalah abad 21 harus diselesaikan dengan pendekatan abad 21. The new solutions to the new problem! Disinilah relevansi Jamesta sebagai kebijakan mendesak.

Strategi/pertanyaan untuk negara berkembang: kemana kita alokasikan dana perlindungan sosial selama ini? berapa jumlah pekerjaan yang bisa kita ciptakan dalam 30 tahun ke depan? bagaimana negara akan mengelola mereka semua? bagaimana desain kebijakan yang ingin kita desain untuk populasi kita? adakah skema untuk “taking care” semua warga negara yang bisa kita adaptasi?

Unconditional basic income (Jamesta) adalah salah satu solusinya (Jamesta = C.A.R.E!)

Kim Jae-yong (Gyeonggi, Korea Selatan)

Gyeonggi punya komitmen untuk mendorong UBI secara nasional, tidak hanya di level provinsi. Langkah awal dimulai tahun 2016 di kota Seongnam, lalu youth basic income di tahun 2018, dan di tahun 2020, mulai digarap Disaster Basic Income dan Rural Basic Income.

Jaminan Pendapatan untuk Pemuda menyasar mereka yang berumur 24 tahun dengan jumlah pembayaran 900 USD (1 juta KRW) per orang. Hasil eksperimen ini berdampak sangat positif pada pengembangan diri para penerimanya.

Gyeonggi juga menyediakan 90 USD (100,000KRW) per orang untuk Disaster Basic Income. Menyasar semua warga provinsi Gyeonggi tanpa melihat besaran pendapatannya. Jaminan pendapatan ini diberikan dalam bentuk mata uang lokal, dan hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap ekonomi dan bisnis lokal, terutama selama bencana pandemi berlangsung. (Konsumsi privat naik hingga 1.85 kali).

Tipe ekonomi baru di era post-pandemic sangat diperlukan, dan basic income (seperti yang dijalankan di Korea Selatan) adalah skema terbaik untuk itu.

Kunci keberhasilan basic income ada empat: (1) tata kelola/governance (2) kepemimpinan yang kuat (3) kreativitas dan (4) driven by administration (goal recognition, system, dan speed).

Tantangan berikutnya untuk Gyeonggi adalah dalam mendesain skema jaminan pendapatan dasar untuk petani dan warga desa seluruhnya.

(terakhir diperbaharui, 21/01/2021)

Unduh materi Narasumber Kongres di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *