Negative Income Tax (NIT) dan Universal Basic Income (UBI), Apa Bedanya?

Fokus utama pemerintah di berbagai negara tentu adalah untuk mengangkat warganya dari kemiskinan. Banyak program inovatif yang digagas, seperti perumahan bersubsidi, bantuan sosial, pengurangan pajak, dan ratusan program lain yang menyasar beragam kebutuhan warga. Sebagian besar program itu pun biasanya bersifat parsial, artinya hanya menyasar kalangan tertentu.

Misalnya, dibuat program khusus lansia, difabel, khusus perempuan, anak, petani, nelayan, dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan program itu pun banyak sekali persyaratan dan dokumen yang harus dipenuhi dan diisi oleh calon penerima. Padahal, untuk memenuhi prasyarat itu, banyak keterbatasan yang dihadapi oleh mereka yang membutuhkan. Belum lagi soal panjangnya birokrasi dan potensi korupsi di setiap lini yang menyebabkan program penanggulangan kemiskinan menjadi tidak tepat sasaran.

Oleh karena itu, banyak ekonom dan ahli kebijakan yang kemudian mempertanyakan efektivitas dari ratusan program-program bantuan pemerintah tersebut: mengapa tidak langsung saja memberikan uang itu kepada setiap orang yang membutuhkannya? 

Di beberapa negara, bentuk “pemberian langsung” itu salah satunya adalah dengan menerapkan Negative Income Tax (NIT) atau Pajak Penghasilan Negatif.  Gagasan di balik NIT adalah pembayaran subsidi berupa uang kepada orang berpendapatan rendah atau mereka yang pendapatan bulannya di bawah garis pendapatan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Jumlah pembayaran akan bervariasi berdasarkan ukuran dan kebutuhan rumah tangga. Dengan kata lain, seseorang tanpa penghasilan akan menerima lebih banyak NIT daripada seseorang dengan sedikit penghasilan, dan seseorang dengan penghasilan menengah atau tinggi tidak akan menerima NIT sama sekali.

Para pendukung NIT mengatakan kebijakan ini akan memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Ini akan membantu mengatasi masalah seperti kerawanan pangan atau kekurangan gizi pada anak. NIT adalah program kesayangan ekonom konservatif Milton Friedman.

Sebaliknya, bagi orang yang keberatan dengan pemborosan pengeluaran pemerintah atau keberatan dengan pajak tinggi untuk orang kaya, NIT adalah musuh yang sempurna. Alasan lainnya, para pengkritik NIT juga kerap mengatakan bahwa program semacam ini bisa membuat orang malas untuk bekerja atau mempertahankan pekerjaannya.

Sebagai sebuah kabijakan, NIT sering disandingkan dengan kebijakan Universal Basic Income (UBI) atau Jaminan Penghasilan Dasar.  Bahkan, banyak yang menganggap keduanya sama atau serupa. Padahal tidak demikian. Seperti kita tahu, UBI memberikan kepada setiap orang jumlah uang yang sama, baik mereka yang bekerja maupun tidak, tetapi mengenakan pajak secara berbeda berdasarkan berapa banyak penghasilan lain yang dimiliki oleh seseorang. Sebaliknya, dengan NIT, hanya sebagian warga negara yang akan menerima subsidi, yaitu mereka yang bekerja dan berpenghasilan di bawah jumlah minimum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Secara praktik, NIT akan menjadi program yang lebih ramping, namun cakupannya menjadi kurang universal dan hanya bagi mereka yang mampu bekerja yang akan memperoleh manfaat. Padahal, jaring pengaman semacam ini dibutuhkan justru oleh mereka yang kehilangan pekerjaan atau terancam tidak bisa bertahan di pasar kerja. Selain itu, dari segi sasaran, NIT diberikan kepada rumah tangga, sementara UBI diberikan kepada setiap individu. Manakah kira-kira yang lebih efektif?

Gagasan seperti NIT atau UBI ini akan terus menarik minat dan perdebatan di antara para ilmuwan dan praktisi. Sebab utamanya adalah tingkat ketimpangan ekonomi yang terus meningkat sementara upah mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah relatif tetap atau tidak meningkat.

Apakah NIT atau UBI yang lebih baik mengatasi kesenjangan ekonomi ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja perlu lebih banyak keberanian dari pemerintah untuk bereksperimen dengan keduanya.