Carbon Dividends dan Basic Income: Sekali Mendayung Dua Tiga Pulau Terlampaui

Buku Karya James K. Boyce. Diterbitkan oleh Polity press, UK & USA (2019)

Ancaman terbesar yang kita hadapi saat ini bukan saja soal automatisasi dan robotisasi yang terus memakan jutaan pekerjaan manusia, tetapi juga krisis lingkungan dan pemanasan global yang diyakini jauh lebih dahsyat dampaknya: kepunahan massal.

Faktanya, sebagian spesies pun kini telah punah akibat tergusur habitatnya. Jika darurat iklim (bukan hanya climate change, tetapi sudah masuk dalam kategori climate emergency) saat ini tidak diatasi dengan serius, maka manusia dan spesies yang tersisa saat inilah yang akan menyusul kepunahannya karena kehilangan habitatnya yaitu planet bumi itu sendiri.

Perlu berbagai terobosan kebijakan yang berani, serius dan dramatis jika manusia ingin terhindar dari kepunahan massal itu. Tentu saja ini tidak mudah. Sebab, kebijakan radikal untuk mencegah memburuknya kondisi planet ini tentu memiliki konsekuensi langsung pada kehidupan kita sehari-hari. Kita harus rela meninggalkan – atau setidaknya mengurangi scara drastis – segala kemewahan dan kemudahan yang selama ini kita peroleh dari eksploitasi terhadap sumber daya alam. Terutama dan paling utama adalah kesiapan untuk meninggalkan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas) yang selama ini mencemari dan membahayakan keberlangsungan kehidupan di planet ini.

Mungkinkah kita bisa menghentikan atau menurunkan emisi karbon tanpa mengacaukan perekonomian sebuah negara atau bahkan dunia? Seperti kita tahu, bahan bakar fosil saat ini masih menjadi tulang punggung dan penggerak utama perekonomian dunia semenjak revolusi industri. Apakah sekarang saat yang tepat untuk menerapkan “harga asli” dari bahan bakar fosil ini? Dengan kata lain, bisakah kita memasukkan harga “eksternal” berupa dampak fossil-fuel ini terhadap lingkungan? Bagaimana caranya agar kebijakan yang sangat tidak populer ini bisa diterima oleh konsumen, politisi, hingga pengambil kebijakan di seluruh dunia?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh James K. Boyce dalam bukunya berjudul “The Case for Carbon Dividends” (2019).  Boyce sendiri adalah seorang ekonom (profesor emeritus) dari University of Massachussetts Amherst, Amerika Serikat. Dalam buku ini, ia membeberkan argumentasi solutif terhadap permasalahan pelik yang dihadapi umat manusia saat ini. Menurutnya, untuk mengatasi pemanasan global saat ini, mau tidak mau seluruh negara di dunia harus mau mengurangi emisi karbonnya sebanyak mungkin. Karena itulah cara yang paling cepat untuk “mendinginkan” kembali planet kita. Cara lainnya banyak, namun memakan waktu yang lebih lama. Dan cara paling cepat untuk mengurangi emisi karbon tentu saja dengan mengurangi konsumsi fossil-fuel.

Bagaimana cara untuk mengurangi konsumsi fossil-fuel? Boyce berpendapat bahwa cara paling ramah dan adaptif terhadap sistem pasar saat ini adalah dengan menaikkan harganya. Semakin mahal harganya, maka semakin sedikit orang yang akan mampu mengonsumsinya. Disinilah ia menjelaskan beberapa konsep penting seperti carbon taxes, carbon pricing, dan carbon permits.

Secara teoritis, dengan menerapkan pajak dan harga asli dari fossil-fuel ini, maka dalam jangka menengah dan panjang akan mendorong orang untuk berlomba-lomba menggunakan energi alternatif yang lebih hijau. Jika ini terjadi, maka banyak lapangan baru tercipta melalui pengembangan green jobs dan renewable energy. Bukan hanya itu, tentu saja kualitas udara dan air akan semakin membaik dan berdampak positif pada kesehatan dan kualitas hidup manusia.

Tetapi, bukankah konsumen akan marah jika tiba-tiba harga bensin, misalnya, menjadi sangat mahal? Tentu saja. Bukan hanya konsumen, bahkan para politisi dan pengambil kebijakan juga akan berpikir seribu kali untuk menerapkan kebijakan ini. Mereka takut karena mereka akan ramai-ramai ditinggalkan konstituennya. Pada titik inilah kemudian Boyce menjelaskan konsep kunci yang menjadi judul buku ini: Carbon Dividends.

Dalam skema carbon dividends ini, pendapatan dari pajak emisi karbon tersebut haruslah didistribusikan kembali kepada setiap warga negara melalui program-program atau kebijakan-kebijakan yang bersifat progresif seperti Universal Basic Income (UBI): yaitu pembayaran secara langsung kepada setiap warga negara dalam bentuk uang tunai secara periodik tanpa syarat apapun. Setiap orang berhak menerima dalam jumlah yang sama dari pendapatan carbon dividends yang dikumpukan oleh negara tersebut. Bagi para pendukung kebijakan UBI, carbon dividends juga menjadi salah satu solusi pembiayaan yang cukup menjanjikan selain dari value added tax yang selama ini banyak dimasukkan dalam skenario pembiayaannya.

Pada titik inilah keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan mendapatkan titik temu yang tidak hanya memuaskan bagi banyak orang (karena mereka yang tidak mampu atau kecewa dengan harga bensin yang mahal mendapatkan bagiannya dalam bentuk basic income dan bebas membelanjakannya sesuai dengan keinginan mereka), namun juga di sisi lain akan menjamin keberlanjutan planet kita satu-satunya ini. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Bagaimana menurut Anda?