Upah Minimum vs. Basic Income: Mana yang Lebih Membebaskan?

“Upah minimum adalah solusi abad-20. Pertanyaannya, apakah skema ini akan mampu menjawab tantangan kerja dan ekonomi di Abad-21?”

Perang kita melawan perbudakan sesungguhnya belum banar-benar usai. Meski hari ini perbudakan terlarang di hampir semua negara, namun praktek-praktek terbuka maupun tersembunyi rezim perbudakan ini masih tetap ada. Termasuk di dalamnya praktek perdagangan manusia hingga praktek pekerjaan-pekerjaan tanpa upah (unpaid work/slave labor).

Untuk mencapai kondisi yang lebih ”bebas” seperti hari ini pun, peradaban kita membutuhkan ratusan bahkan ribuan tahun untuk memuseumkan perbudakan klasik itu. Bahkan ketika agama-agama besar seperti Yahudi, Hindu, Kristen, dan Islam muncul serta menyebar di muka bumi, tidaklah serta merta mampu menghapus praktek perbudakan yang telah melembaga dalam struktur masyarakat ini. Alih-alih menghapuskan, pergantian para Nabi atau pemimpin agama-agama mainstream itu pun baru mampu pada level ”memoderasi” praktek perbudakan.

Baru di era modern, sekitar abad ke-17 dan ke-18, seruan untuk menghapus perbudakan ini menjadi semakin konkret dan menemukan momentumnya hingga secara perlahan bisa ”dihapuskan secara formal”. Abad itu juga dikenang sebagai Abad Pencerahan (Age of Enlightment), dimana kebebasan (liberty), kemajuan (progress), serta ide-ide tentang hak-hak asasi manusia, kedaulatan, hingga sekulerisme berkembang pesat. Namun demikian, abad pencerahan tidak lantas melenyapkan perbudakan begitu saja, malahan rezim kolonialisme dan imperialisme – yang tak lain adalah bentuk perbudakan antar bangsa – justru sedang tumbuh dengan suburnya.

Ketiadaan Posisi Tawar

Mengapa bicara upah minimum vs. basic income perlu membahas perbudakan? Karena akar masalahnya kurang lebih sama. Hal yang memungkinkan perbudakan terjadi adalah hal yang serupa yang memungkinan adanya rezim upah murah. Ketika pihak yang memiliki kapital, kuasa, hingga senjata di satu sisi, berhadapan dengan pihak yang tidak memiliki ketiganya, maka ”kerja-sama” itu menjadi omong kosong. Ketiadaan posisi tawar ini yang menyebabkan pihak kedua akan selamanya dieksploitasi, sebab yang dia punya hanya tenaga dan tubuhnya saja.

Individu yang tidak memiliki daya tawar, tentu akan menerima apa saja yang diberikan oleh pemilik kapital dan kuasa tadi. ”Daripada tidak dapat uang sama sekali?”, demikian kira-kira yang ada di kepala calon pekerja. Daya tawar individu dan buruh ini semakin lemah manakala jumlahnya melimpah. Maka seburuk apa pun sistem upah dan besaran upah, akan diterima begitu saja. Karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. ”Kalau saya tidak ambil (meski pekerjaannya berbahaya, diupah murah, tanpa jaminan kesehatan maupun hari tua, dan bisa dipecat kapan saja), maka akan ada orang lain yang mengambilnya”.

Tak salah jika kemudian George Bernard Shaw pernah berujar bahwa ”lack of money is the root of all evil”. Rayuan setan akan terdengar indah ketika kita lapar dan tak punya uang. Kekurangan uang adalah sumber dari munculnya berbagai kejahatan. Itulah mengapa setiap pengangguran meningkat, kriminalitas melompat. “Lack of cash is the cause, not the symptom, of poverty”, demikian kata sejarawan Rutger Bregman.

Maka tak heran meski rezim dunia telah berganti rupa dari kolonialisme, developmentalisme, hingga globalisme, prinsip yang kuat memakan yang lemah tetaplah eksis bahkan cenderung dominan. Menaikkan posisi tawar individu tadi adalah persoalan sentral yang mestinya menjadi pokok perhatian, bukan melulu berkutat pada berapa jumlah upah minimum atau bagaimana mekanisme berhitungnya?

Upah minimum adalah ”gejala”, bukan ”akar” masalahnya. Gejala itu meski diotak-atik, akan tetap sulit diperoleh unsur keadilannya ketika pemilik kapital (pengusaha) dan penguasa (negara/pemerintah) tidak mengambil peran dan jarak yang semestinya.  Memang benar bahwa berserikat adalah salah satu solusi untuk menaikkan posisi tawar individu dan pekerja secara kolektif. Tapi berserikat saja tidaklah cukup.

Problem Upah Minimum

Andrew Yang (kiri) dan Bernie Sanders (kanan). Keduanya adalah mantan Capres Demokrat di AS pada pemilu 2020 yang lalu. Yang adalah pengusung UBI yang kini mencalonkan diri sebagai walikota New York, sedangkan Sanders pengusung $15 minimum wage dan senator dari Vermont.

Upah minimum merupakan bentuk intervensi negara yang niat awalnya adalah melindungi dan mencegah terjadinya perbudakan modern. Jika dibiarkan tanpa campur tangan negara, maka pengusaha akan mengupah buruh serendah-rendahnya. Bahkan jika perlu tidak diupah sama sekali. Di Amerika Serikat (AS), upah minimum Federal diperkenalkan pada tahun 1938 pasca depresi ekonomi. Di Indonesia, kebijakan upah minimum baru diadopsi pada tahun 1969. Jika di AS mengenal upah minimum Federal dan negara bagian, maka di tanah air kita mengenal Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).

Selain untuk proteksi pekerja, upah minimum juga memiliki fungsi lain, seperti untuk mengatasi kemiskinan, untuk pemenuhan kebutuhan hidup minimum, meningkatkan daya tawar pekerja, mendorong kompetisi yang positif antar pengusaha, serta secara makro ekonomi bisa juga digunakan sebagai alat kontrol inflasi dan pertumbuhan. Bisa dibilang, upah minimum adalah solusi abad-20. Pertanyaannya, apakah upah minimum ini akan mampu menjawab tantangan kerja di Abad-21?

Salah satu masalah utama penerapan upah minimum ini, terutama di negara berkembang, adalah kecilnya kontribusi upah minimum terhadap penurunan ketimpangan dan kemiskinan. Selain tidak terlalu bermanfaat terhadap pekerja informal, kelompok rentan, dan keluarga termiskin, kenaikan upah minimum, misalnya, juga memiliki kecenderungan positif terhadap naiknya pengangguran dan meningkatnya pengeluaran pemerintah untuk biaya jaminan sosial lainnya.

Di Indonesia, studi panel tentang dampak kenaikan upah minimum ini juga mengatakan hasil yang sama. Mulai penelitian dari Rama (2001) yang menggunakan data panel tahun 1988-1994, Alatas & Cameron (2008) dengan data Jabotabek tahun 1989-1996, hingga yang terbaru dari Siregar (2019) dengan data panel provinsi tahun 2001-2015, kurang lebih mendapati kesimpulan yang sama.

Kajian Asian Development Bank (ADB) soal Minimum Wages and Changing Wage Inequality in Indonesia (2010) pun menemukan bahwa kenaikan upah minimum justru menambah rata-rata jam kerja buruh sekaligus mengurangi kesempatan pekerja tidak terampil untuk masuk ke dalam sektor formal. Tak hanya di Indonesia, dilema upah minimum seperti ini juga dialami oleh negara berkembang lainnya di Amerika Latin seperti Brasil, Colombia, dan Meksiko (Cunningham, Wendy. 2007. Minimum Wages and Social Policy: Lessons from Developing Countries. World Bank).

Berbagai dampak tidak langsung di atas menjadikan upah minimum sebagai  alat yang kurang efektif untuk redistribusi pendapatan. Manfaat lebih banyak dirasakan kelas menengah daripada pekerja miskin. Upah minimum sebenarnya dapat digunakan sebagai alat redistribusi pendapatan jika disertai dengan jaring pengaman sosial yang kuat bagi para penganggur. Dengan kata lain, efek pengangguran dari upah minimum harus diimbangi dengan jaminan sosial agar mereka yang kehilangan pekerjaan dapat menerima kompensasi, misalnya lewat skema asuransi ketenagakerjaan dan subsidi pengangguran (unemployment benefit).

 Jika negara memiliki jaring pengaman yang komplit seperti itu, maka upah minimum bisa menjadi alternatif yang baik untuk redistribusi pendapatan. Sayangnya, Indonesia belum memiliki skema unemployment benefit tersebut. Upah minimum yang akurat juga cenderung rumit karena menyesuaikan beragam perbedaan karakteristik wilayah, profesi, tingkat keterampilan, dan lain sebagainya. Upah minimum yang sangat sektoral dan spesifik seperti ini, akan semakin sulit digunakan sebagai acuan oleh kelompok umum lainnya. Meski sering dijadikan acuan, upah minimum sebenarnya bukanlah alat yang pas untuk menentukan upah di sektor informal.

Universal Basic Income (UBI): Solusi Abad-21?

Upah minimum yang lebih tinggi memang menguntungkan bagi orang yang memiliki pekerjaan, tetapi itu tidak meringankan beban warga lainnya. Inilah yang membuat gagasan tentang Penghasilan Dasar Universal (UBI) menjadi menarik. Jika kita ingin membantu mereka yang paling membutuhkan, maka kita harus fokus pada kebijakan yang langsung mengatasi masalah dasarnya. Mentransfer uang tunai ke dompet semua orang, bukan hanya kantong buruh dan karyawan, itulah kebijakan yang paling tepat.

Dengan UBI, setiap orang akan mendapat kenaikan gaji. Bukan hanya warga dewasa, anak-anak juga berhak atas tunjangan ini. Buruh formal atau informal, bahkan pengangguran mendapat tunjangan yang sama. Tanpa syarat, tanpa tes, dan tanpa pendampingan macam-macam. Tidak ada individu atau kelas sosial yang tertinggal dalam skema ideal UBI. Sebaliknya, sebagian warga, khususnya kelas atas, akan membayar pajak lebih banyak daripada yang lain. Beberapa jenis pajak memang akan naik, tetapi yang pasti bukan pajak kelas menengah ke bawah.

Di era mesin cerdas dan AI seperti sekarang, penerapan upah minimum hanya akan meningkatkan pengangguran teknologi. Dengan UBI, setiap orang akan memilik posisi tawar yang lebih baik. Mereka bisa mengatakan “tidak!” pada pekerjaan berupah rendah karena mereka sudah memiliki cukup uang untuk bertahan hidup. Dampak lanjutannya adalah semua orang mendapat peluang peningkatan upah. Pekerjaan fisik, manual, dan rutin lainnya bisa segera dialihkan pada otomasi.

Keuntungan dari penerapan UBI ini akan dirasakan oleh semua warga negara dan tidak pula membebani pengusaha. Justru akan memunculkan pengusaha-pengusaha baru. Mereka yang ada di bawah garis kemiskinan otomatis tertolong tanpa harus menekan saudaranya yang ada di kelas menengah. UBI yang memiliki prinsip kebebasan, kesetaraan, dan menjamin martabat setiap orang akan mendorong pula kreativitas dan produktivitas yang jauh lebih besar.

Di tengah pandemik COVID-19 saat ini, transfer tunai langsung ke tangan setiap warga, baik permanen maupun temporer, adalah cara penyelamatan yang paling elegan. UBI jelas akan menguntungkan kelompok rentan, perempuan, dan unpaid workers. Berbeda dengan upah minimum yang mengikat dan mengekang pekerja, UBI justru akan melonggarkan hubungan orang dengan majikannya. Tingkat mobilitas ekonomi seseorang menjadi semakin tinggi dan fleksibel. Mereka yang ingin berhenti bekerja karena faktor usia, disabilitas, dan kewajiban mengasuh anak tetap terjamin kebutuhan dasarnya.

Penerapan upah minimum terbukti tidak memperbaiki ketimpangan sosial ekonomi yang ada. Ia juga menghambat peluang bagi pekerja berketerampilan rendah dan berpotensi membuat jaring pengaman sosial kewalahan. Oleh karena itu, kebijakan berbasis UBI patut untuk dipertimbangkan secara serius. Disamping lebih menghargai dan peka pada kebutuhan setiap orang, penerapan UBI juga lebih cocok untuk kondisi ekonomi yang berubah dengan sangat cepat di Abad-21 ini.

Secara keseluruhan, upah minimum adalah alat keadilan sosial yang penting dan diinginkan banyak negara sepanjang abad 20 yang lalu. Namun implementasi dan daya positifnya akan semakin pupus jika mengikuti gelombang kemajuan teknologi dan pandemi yang dalam waktu singkat menyebabkan tsunami pengangguran global ini. Niat mulia upah minimum di masa normal saja sulit untuk dicapai, apalagi di era “new normal” yang penuh dengan disrupsi dan ketidakpastian ini.

Penulis: Yanu Prasetyo, Founder IndoBIG Network

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *