Ditengah penanganan wabah Corona saat ini, muncul pengakuan yang cukup mengejutkan terhadap pentingnya Jaminan Penghasilan Dasar atau Basic Income Guarantee. Terlihat jelas dari perubahan sikap para politisi dan pemerintah di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Dua negara besar yang terkenal anti terhadap kebijakan “menghambur-hamburkan” pajak rakyat itu sepertinya sedang berubah haluan.
Sebelum wabah Corona hadir, memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada warga miskin misalnya, itu dianggap tidak mendidik, sia-sia, dan tidak adil bagi mereka yang menganggap dirinya kelas menengah dan kaum pekerja. Hidup miskin di tanah Amerika atau Inggris itu dianggap kesalahan pribadi. Kalau kamu kerja keras dan pantang menyerah, pasti tidak akan miskin. Kalau sampai miskin, berati kamu kerjanya kurang keras. Banting tulangnya kurang remuk. Begitu kira-kira mantra hidupnya.
Para pengusul kebijakan seperti Jaminan Penghasilan Dasar, Jaminan Kesehatan Untuk Semua Warga Negara, Subsidi pada pengangguran, Penghapusan Utang Mahasiswa (Student debt), hingga menaikkan standar upah minimum, biasanya hanya disuarakan oleh kelompok kecil yang menyebut dirinya kaum progresif. Sebut saja senator Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez sebagai contohnya. Tak jarang, mereka ini dilabeli sebagai kelompok kiri atau sosialis.
Sama seperti di Indonesia, mereka yang berada di barisan ini biasa disebut kelompok ”sesat dan radikal” oleh publik. Entah apa alasannya, yang jelas mendengar label itu saja orang langsung paranoid.
Namun itu dulu ketika Corona belum mewabah. Ketika banyaknya orang kaya yang makin kaya dan orang miskin makin melarat masih dianggap fenomena wajar di negara penganut kapitalisme ini. Bahkan ketika tiga (3) orang terkaya di AS memiliki harta setara kekayaan setengah penduduknya pun tidak membuat politisi sayap kanan bergeming. Kalau mau kaya seperti Mark Zuckerberg, Bill Gates, atau Jeff Bezos, ya bukan hanya tulangmu harus remuk, mungkin kepalamu juga harus ikut dibanting lebih keras lagi.
Ajaibnya sikap itu tiba-tiba lain ketika berhadapan dengan wabah Corona.
Tak hanya mengancam si miskin dan mereka yang rentan, ternyata Corona mengancam siapa saja tanpa pandang bulu. Mau tua, muda, hingga anak-anak bisa menjadi korban. Apalagi cuma kaya dan miskin, virus ini tidak peduli. Bahkan, sendi-sendi perekonomian pun ikut digerogoti akibat kepanikan pasar hingga melonjaknya pengangguran (diperkirakan sampai 20% di AS) jika dampak virus ini tak terkendali. Tingkat kepanikan ini levelnya sudah seperti berada di dalam rumah yang sedang dilalap api. Mereka yang tinggal di lantai atas atau tidur di lantai bawah, sama-sama terancam.
Kepanikan ini lalu memunculkan beragam proposal kebijakan dari beberapa senator dan Gedung Putih yang nyata-nyata memiliki cita rasa “kiri” tadi. Salah satunya adalah rencana menggelontorkan paket stimulus berupa Bantuan Langsung Tunai kepada warga Amerika yang terdampak Corona (mulai dari 1,000 USD – 4,000 USD). Kebijakan yang dulu dianggap sia-sia dan menghambur-hamburkan pajak ini pun sekarang ramai-ramai dipuja.
Dalam situasi darurat, ternyata kebijakan jaring pengaman semacam inilah yang dianggap paling rasional dan menjadi norma baru.
Kini perdebatan pun bergeser menjadi; siapa saja yang berhak menerima paket bantuan ini? Apakah hanya yang benar-benar memerlukan ( conditional ) atau kepada semua orang ( unconditional/universal )?
Sebagai pendukung gagasan Universal Basic Income (UBI), baik dalam situasi normal maupun darurat, setidaknya kami punya lima (5) alasan kenapa stimulus berupa uang tunai itu harus diberikan kepada setiap orang tanpa syarat apapun.
Satu, kecepatan ( imediacy ). Yang kita hadapi adalah situasi krisis. Hidup dan mati seseorang berlomba dengan waktu. Jika bantuan dilakukan secara tebang pilih, berapa banyak energi yang harus dihabiskan untuk memilah dan memilih itu? Berapa banyak waktu yang terbuang percuma hanya untuk memastikan seseorang layak mendapat BLT atau tidak? Dimana-mana tidak ada rumus birokrasi dan administrasi yang berbelit itu bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Termasuk dengan memilah-milih tadi.
Jika rumah kita sedang terbakar api, tentu kita tidak perlu menghitung berapa jumlah air yang harus digelontorkan untuk memadamkan api. Apakah ruang tamu duluan atau kamar tidur yang harus diselamatkan? Semua harus segera dihujani dengan air agar semakin banyak yang bisa diselamatkan.
Dua, transparan dan sederhana. Ini adalah rumus paling mujarab tapi entah mengapa banyak ditolak dan dihindari. Dengan membagikan stimulus atau BLT secara sama dan merata kepada setiap warga negara, prosedur yang ditempuh menjadi sangat sederhana. Misal dengan data kependudukan yang akurat, sudah selesai urusan. Tidak perlu pendampingan ini itu. Pelatihan ini itu. Cukup transfer antar rekening dari negara kepada dompet rakyat masing-masing. Jadi sudah itu barang. Uang itu mau dipakai untuk apa? kita serahkan sepenuhnya pada si penerima. Toh itu hak dia, kenapa kita yang repot mengaturnya? Kita juga sudah dapat bagian yang sama, bukan?
Tiga, menghindari salah sasaran ( error of exclusion ). Membeda-bedakan warga negara yang ”layak menerima” dengan yang ”tidak layak menerima” bantuan itu selain rumit juga tidak efektif (baca lagi alasan satu dan dua). Apakah Anda yakin jika ”garis kemiskinan” yang ditetapkan pemerintah atau Bank Dunia, misalnya, itu benar-benar cermin dari realita? Memang mudah menentukan seseorang itu miskin, tapi siapa yang bisa menentukan sesorang sudah cukup kaya? Alamiah-nya manusia itu sulit merasa cukup. Jika garis pemisah kaya dan miskin itu dipaksa dibuat, maka banyak yang akan melanggar batas itu. Yang kaya akan mengaku miskin untuk mendapatkan bantuan itu. Karena kaya bukan hanya bersifat material, namun juga psikis. Ini yang disebut dengan error positive, dimana yang tidak berhak malah menerima bantuan karena bisa mengakali persyaratan. Sebaliknya, muncul juga error negative, dimana mereka yang seharusnya menerima, malah tidak masuk daftar penerima karena tidak bisa menunjukkan kelengkapan administratif, misalnya. Disinilah kebijakan yang tebang pilih tadi memiliki celah dan kebocoran yang besar.
Empat, merangkul semua (inklusif). Dengan tiga alasan di atas, maka program Jaminan Penghasilan Dasar di masa darurat (maupun normal) akan menjadi program yang inklusif dan merata. Ibaratnya pemerintah sedang melakukan redistribusi kekayaan dan pendapatan ke semua level. Tidak ada lagi istilah kekayaan akan menetes dari atas ke bawah ( trickle-down economics ) tapi kekayaan baru akan dibangun dari bawah ( buttom-up economics ). Kekuatan ekonomi kecil, ekonomi rakyat, hingga wirausahawan baru yang selama ini hanya jargon bisa menjadi benar-benar terwujud karena ada modal untuk itu berupa jaminan pendapatan dasar tadi. Tidak ada warga yang tertinggal karena semua kecipratan.
Lima, memperkuat kohesi sosial. Pelajaran yang bisa diambil dari kondisi darurat semacam wabah Corona (atau ketimpangan ekonomi, menurut saya ini juga darurat) saat ini adalah pentingnya memikirkan semua orang, bukan hanya diri kita sendiri. Oleh karena itu, membagi-bagi masker dan hand-sanitizer secara gratis, menjaga jarak ( social distancing ) hingga menyepi di dalam rumah ( self-quarantine ) itu selalu dibarengi anjuran untuk tetap melihat orang disekitar kita. Demi kesehatan dan keselamatan orang lain. Demikian jargonnya.
Sejalan dengan semangat itu, Jaminan Penghasilan Dasar juga tidak boleh eksklusif atau hanya untuk kelompok tertentu saja. Universalitas menjadi keharusan jika kita ingin sebanyak-banyaknya orang selamat. Jika kapal yang kita tumpangi akan karam di tengah lautan, tentu kita tidak perlu bertanya apakah sesorang bisa berenang atau tidak untuk diselamatkan. Sebisa mungkin semua naik kapal sekoci untuk menyelamatkan diri.
Lalu, bagaimana kalau sekoci (sumber daya dan kemampuan negara) itu jumlahnya terbatas? Nah, soal itu kita bahas di tulisan selanjutnya ya.
Columbia, MO
Jum’at, 20 Maret 2020
Oleh: Yanu Prasetyo
Founder, Indonesian Basic Income Guarantee (IndoBIG) Network