sumber gambar: https://www.wired.co.uk/article/universal-basic-income-y-combinator-andrew-keen

Pada tahun 2017 lalu, suporter Universal Basic Income (UBI) mendapat angin segar dengan banyaknya negara, pemerintah, serta donor yang memulai percobaan penerapan UBI ini. Kita juga sangat antusias menunggu hasil implementasi UBI “model Finlandia” yang dijalankan selama dua tahun. Ditambah dengan percobaan terbesar saat itu di Kenya yang melibatkan ratusan desa dan ribuan partisipan. Namun pada tahun 2018, beberapa hambatan dan “gangguan” mulai muncul terhadap UBI ini. Dimulai dari percobaan UBI Finlandia yang tidak diperpanjang lagi, percobaan di Kanada yang dihentikan oleh politisi konservatif baru yang sedang berkuasa, hingga percobaan dari Y-Combinator yang ternyata diundur hingga 2019 ini.

Tertundanya percobaan UBI ini tentu menghambat ketersediaan data yang sangat diperlukan oleh para peneliti. Dari hasil eksperimen itulah kemudian para peneliti, baik pendukung maupun kritikus, akan bisa menyampaikan argumennya. Apakah UBI layak untuk diterapkan atau perlu perbaikan model? atau bahkan tidak layak sama sekali? Laporan dari MIT technology review yang terbit 2 Januari 2019 lalu mengungkap setidaknya ada tiga masalah utama yang mengganjal eksperimen UBI ini.

Pertama, Politik. Lagi-lagi kemauan dan political will dari penguasa sangat mempengaruhi jalannya eksperimen UBI ini. Seperti kasus di Ontario, Kanada dan Finlandia, penghambat utama adalah kalangan politisi yang menolak gagasan UBI ini. Seperti kita tahu, gagasan UBI ini cukup sering disuarakan oleh kelompok liberal progressif yang memang mendukung “kesetaraan untuk semua”. Ketika kelompok liberal ini kalah dalam pemilu dari kelompok konservatif, maka mereka pun akan membuat kebijakan untuk segera menghentikan eksperimen UBI ini.

Kedua, Sumber Daya Finansial (Dana). Memberikan uang secara cuma-cuma, meskipun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, perumahan, dan pakaian, nampaknya masih dianggap sangat mahal dan tidak menjadi prioritas pengeluaran pemerintah. Mereka lebih setuju untuk memberikan bantuan itu dengan memberikan kategori atau pengecualian-pengecualian. Memberikan sama rata pada semua warga negara dianggap sebagai pemborosan. Padahal, bukankah untuk itu kita bernegara? dimana negara bisa menjamin kesejahteraan seluruh warganya tanpa kecuali! Oleh karena itu, untuk sementara, beberapa pembiayaan eksperimen UBI ini didanai oleh lembaga privat seperti Y Combinator, Direct Giving lab, Giving Directly, dan lain-lain.

Ketiga, UBI dianggap mengganggu sistem jaminan sosial yang sudah mapan. Seperti kita tahu, banyak negara di Eropa maupun Amerika Serikat sendiri yang memiliki sistem jaminan sosial untuk warga negaranya. Termasuk di Indonesia, kita juga memiliki Program Keluarga Harapan (PKH), BPJS, dan lain-lain yang menyasar keluarga miskin, anak-anak, hingga lansia. Kehadiran UBI yang memiliki filosofi berbeda dengan sistem jaminan sosial yang sudah ada itu dianggap mengganggu kemapanan. Padahal kita tidak tahu, apakah sistem jaminan sosial yang dianggap sudah mapan tersebut benar-benar masih relevan dan tepat sasaran? khususnya dalam menghadapi tantangan jobless future akibat Robot dan AI. Yang wajib kita ketahui sekarang adalah ketika ketimpangan sosial ekonomi semakin lebar, bentuk jaminan sosial klasik ataukah UBI yang akan lebih memberikan kontribusi bagi pengentasan kemiskinan dalam arti yang sebenarnya? yaitu memberikan kebebasan (freedom), menaikkan martabat si miskin, dan melepaskan individu dari ketergantungan.

Ketiga hal di atas nampaknya masih menjadi tantangan utama yang harus dijawab oleh para pegiat UBI di seluruh dunia, termasuk para pendukungnya di Indonesia.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *