Subsidi Upah Perlu Diperbesar dan Diperluas

Rekaman Webinar dapat dilihat kembali disini: https://www.youtube.com/watch?v=on1Q2B1aO2M&t=4s

Latar Belakang

Untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi, pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan baru berupa stimulus khusus untuk karyawan swasta (non-PNS) yang bekerja di perusahaan non-BUMN dan memiliki gaji di bawah lima (5) juta rupiah per bulan. Besaran stimulus atau tunjangan yang akan diberikan adalah Rp. 600.000,- per bulan selama empat (4) bulan. Syarat untuk menerima tunjangan ini, karyawan tersebut harus terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Diperkirakan ada sekitar 13,8 juta karyawan yang akan terjangkau oleh stimulus ini dengan total anggaran mencapai 31,2 Triliun Rupiah. Metode pembayaran tunjangan adalah melalui transfer tunai langsung ke rekening karyawan yang telah memenuhi persyaratan di atas.

Kebijakan baru ini tentu disambut positif, terutama di tengah anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga -5,32% pada kuartal II tahun 2020 ini dan menjadi yang terburuk sejak tahun 1999. Menurunnya daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat menjadi masalah yang harus segera dipulihkan, salah satu caranya adalah dengan menggelontorkan stimulus langsung ke rumah tangga atau masyarakat. Dengan demikian, diharapkan roda perekonomian akan perlahan kembali berputar. Kebijakan semacam ini juga sudah lebih dulu diambil oleh negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, Spanyol, dan lain sebagainya. 

Disamping sambutan positif, tentu juga banyak catatan kritis terhadap kebijakan ini. Salah satunya adalah terkait nasib karyawan swasta bergaji di bawah lima juta rupiah namun tidak terdaftar di BPJS Kesehatan. Diskriminasi menjadi isu yang menguat. Selain itu, pemberian stimulus kepada karyawan swasta tersebut dianggap justru akan memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, mengingat karyawan dengan gaji mendekati 5 juta bukanlah termasuk kelompok miskin atau rentan. Upaya mendorong konsumsi bisa menjadi kurang efektif jika ternyata stimulus tersebut lebih banyak ditabung daripada dibelanjakan oleh kelas menengah tersebut. 

IndoBIG Network bekerja sama dengan Mindset Institute dan UBI Lab Jakarta telah menyelenggarakan diskusi untuk membedah pro kontra kebijakan stimulus karyawan swasta di atas bersama para pakar dan tokoh dari berbagai latar belakang kepakaran dan organisasi pada hari Selasa, 11 Agustus 2020 yang lalu. Webinar ini berusaha untuk merangkum dan menangkap berbagai sudut pandang terkait kebijakan ini. Berikut adalah catatan ringkas dari hasil diskusi menyikapi pro kontra stimulus khusus karyawan swasta bergaji di bawah lima juta rupiah.

Apresiasi Positif Terhadap Skema Transfer Tunai

Rencana pemberian stimulus atau subsidi upah langsung kepada karyawan swasta bergaji di bawah lima juta rupiah patut untuk diapresiasi sebagai terobosan positif di tengah krisis akibat pandemi yang belum nampak tanda-tanda akan pulih. Kebijakan transfer tunai langsung adalah skema paling efektif yang seharusnya diadopsi pemerintah sejak awal krisis terjadi. Keterlambatan dalam mengambil langkah-langkah stimulus langsung ini terbukti lebih besar ongkosnya dibanding jika inisiatif kebijakan darurat ini diambil dengan sigap di awal krisis terjadi.

Stimulus Untuk Sektor Informal Perlu Ditambah

Pemerintah sebaiknya menyiapkan desain dan memperhatikan dampak kebijakan stimulus parsial ini secara lebih matang. Jelas bahwa stimulus khusus karyawan ini bukanlah stimulus untuk rumah tangga miskin atau kelompok rentan, mengingat besaran gaji dan wajibnya kepesertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan sebagai syarat untuk menerima stimulus ini. Konflik, kecemburuan dan ketimpangan sosial baru perlu mendapat perhatian khusus mengingat wajah ekonomi kita sesungguhnya adalah wajah ekonomi informal dan pekerja di sektor formal pun masih banyak yang belum terdaftar dalam skema BPJS Ketenagakerjaan karena berbagai alasan.

Menu dan Ragam Jaminan Sosial Perlu Diperluas

Jika hendak mencegah resesi akibat pandemi dan menyelamatkan sebanyak mungkin warga, pemerintah wajib hadir dan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Artinya, semua jenis dan ragam jaminan sosial perlu disiapkan untuk semua warga atau lebih banyak warga. Pemerintah jangan jangan membatasi kepada jenis dan ragam bantuan sosial yang sudah ada, mengingat dampak COVID-19 tidak memandang kelas sosial alias universal (berdampak pada semua lapisan). 

Jaminan Sosial, Bantuan Sosial, dan Subsidi Upah

Pada dasarnya ada tiga (3) macam intervensi sosial yang sebaiknya dilakukan bersamaan oleh pemerintah dalam masa pandemi ini, yaitu (1) Jaminan sosial, (2) bantuan sosial dan (3) subsidi upah untuk pekerja. Contoh pertama (jaminan sosial) adalah meningkatkan kualitas data dan kepesertaan BPJS kesehatan/ketenagakerjaan. Contoh yang kedua (bantuan sosial) adalah Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, dan subsidi listrik. Contoh ketiga adalah yang sedang coba dilakukan oleh pemerintah, yaitu berupa subsidi upah untuk karyawan bergaji di bawah lima juta rupiah ini. Berbeda dengan PKH dan BLT yang hanya ditujukan untuk keluarga miskin, subsidi upah ditujukan untuk individu pekerja. 

Dengan adanya subsidi upah ini sebenarnya sudah merupakan kemajuan. Ada 3 alasan mengapa demikian. Pertama, menu kebijakan sosial atau jaminan sosial  Indonesia selama ini masih sangat terbatas dan minimal. Misalnya, sampai hari ini belum memiliki Tunjangan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan (unemployment benefits-UB). Padahal semua negara anggota G20 sudah ada (Indonesia anggota G20). Juga di negara tetangga kita seperti Malaysia dan Thailand, mereka sudah menjalankan UB. Dengan adanya subsidi upah, Indonesia sedang melompat dan mencoba setara dengan negara lain. Kedua, perluasan jangkauan. Pemerintah bergerak memberi dukungan kepada kelompok warga produktif tetapi berupah rendah, jadi tidak sebatas kepada kelompok miskin saja. Ketiga, subsidi upah lebih berpotensi tepat sasaran dan tidak dikorupsi oleh pelaksana/penyelenggara. Dibanding dengan bantuan sembako, misalnya. Kita tentu terus mendorong dan menganjurkan agar pemerintah mengadopsi UBI. Tetapi jika belum, subsidi upah layak dan patut untuk didukung dan diperluas lagi jangkauan penerimanya.

Subsidi Upah Berbeda dengan Universal Basic Income (UBI)

Subsidi upah ini juga berbeda dengan Basic Income karena Basic Income yang diberikan untuk semua warga dan tanpa syarat apapun. UBI tidak hanya terbatas kepada warga miskin saja atau pekerja formal saja. UBI secara konsep memang lebih ideal (menghilangkan tumpang tindih bantuan) dan akan  berdampak langsung (mendorong konsumsi) dalam mengatasi krisis saat ini. Hanya saja, dalam setiap perubahan dan perbaikan suatu kebijakan, pemerintah biasanya akan bergerak secara perlahan dan inkremental. Pemerintah semestinya lebih berani dalam mengambil langkah-langkah progresif seperti UBI ini, mengingat tingkat kepercayaan publik pada presiden relatif tinggi saat ini.

Potensi Korupsi Perlu Diwaspadai

Panjangnya daftar riwayat korupsi program bantuan sosial di Indonesia juga perlu mendapat catatan khusus. Verifikasi dan pemeriksaan ulang data jumlah tenaga kerja di sektor formal ini perlu ditinjau ulang secara serius agar skema stimulus yang digulirkan bisa lebih tepat sasaran. Dekatnya rencana stimulus khusus karyawan swasta ini dengan perhelatan pemilu serentak kepala daerah juga harus mendapat perhatian khusus. Jangan sampai stimulus pemerintah ini ditunggangi menjadi bahan kampanye pasangan calon atau menjadi bahan kampanye hitam di lapangan yang berpotensi melemahkan kohesi dan solidaritas masyarakat di tengah situasi krisis dan pandemi. 

Harmonisasi Antar Lembaga

Terobosan kebijakan progresif semacam ini dalam implementasi juga harus didukung oleh harmonisasi berbagai kelembagaan, mulai dari kementerian terkait hingga lembaga-lembaga pelaksana di lapangan, termasuk pelibatan kekuatan masyarakat sipil dalam memonitor pelaksanaan program. Disharmonisasi dan ketidakpaduan manajemen serta komunikasi publik pemerintah dikhawatirkan akan memperlemah manajemen krisis yang sedang dijalankan. Alih-alih mencapai tujuan yang dimaksud, justru permasalahan baru yang akan muncul dan memperburuk situasi yang ada.

Narasumber/Pembahas:

  1. Ahmad Arif (LaporCovid19)
  2. Alissa Wahid (Jaringan Gusdurian)
  3. Ah. Maftuchan  (Direktur Eksekutif Prakarsa)
  4. Bima Yudhistira (Ekonom Indef)
  5. Dani Eko Wiyono (SBSI Yogyakarta)
  6. Jonatan A. Lassa (Dosen di Darwin University, Australia)
  7. Laode M. Syarif (Direktur Eksekutif Kemitraan)
  8. Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesian/KPI)
  9. Pantja Pramudya (Ekonom Mindset Institute)
  10. Setyo Budiantoro (Manager SDGs)
  11. Sonny Mumbunan (Founder Basic Income Lab UI)
  12. Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID)
  13. Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant Care)
  14. Yanu Prasetyo (Founder IndoBIG Network)

Moderator: Lily Hikam (IndoBIG Network)

Penyelenggara

  • IndoBIG Network 
  • Mindset Institute
  • UBI Lab Jakarta

Informasi lebih lanjut: www.indobig.net 

Related Posts