Ketika Alaska mendapatkan status sebagai salah satu negara bagian Amerika Serikat pada tahun 1959, ia mendapatkan hak dan ijin untuk menguasai lahan seluas 43 juta hekter (Public Law 85–508, 72 Stat. 339). Beruntungnya lagi, di dalam lahan seluas itu, ternyata terkandung begitu banyak sumber minyak bumi dan gas yang melimpah. Karena penduduk Alaska yang hanya sedikit jumlahnya, tentu tidak mampu mengolah sendirian sumber daya alam yang melimpah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah setempat pun menyewakan sumber-sumber minyak Alaska untuk dikelola oleh pihak-pihak lain. Sebagai gantinya, pada tahun 1976, pemerintah Alaska pun mendapatkan jatah dari royalti pengelolaan tambang minyak tersebut. Hal ini tertuang dalam amandemen konstitusi Alaska (artikel IX, bagian 15). Negara bagian mendapatkan sekitar ¼ dari royalti yang kemudian dibagi-bagikan lagi kepada setiap warga Alaska melalui program bernama Permanent Fund Dividend (PFD).
Kebijakan ini pun mengawali sebuah program populis yang tak lain berupa Universal Basic Income, yaitu pemberian sejumlah uang secara rutin setiap bulan kepada setiap warga Alaska tanpa syarat apa pun. Meskipun namanya PFD, namun prinsipnya adalah sama dengan UBI. Praktik PFD ini pun kemudian banyak dirujuk oleh para ahli dan dunia sebagai salah satu contoh penerapan UBI yang eksis selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Pada tahun 1980, pemerintah legislatif setempat meluncurkan program PFD ini dan mendapat dukungan dari kelompok konservatif. Bagi hasil dari keuntungan industri minyak bumi itu pun menembus angka $60 Milyar dollar pada tahun 2017, yang berarti sekitar $80,000 per penduduk. Siapa pun warga Alaska, sepanjang ia terdaftar sebagai warga setempat, berhak memperoleh PFD ini. Tentu jumlah dividen yang diterima oleh warga tidak sama setiap tahun, tergantung dengan bagaimana keuntungan bisnis minyak yang dijalankan. Besaran PFD yang diterima warga Alaska sejak tahun 1982 sampai dengan 2016 dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
Alaska Permanent Fund Dividend as Percentage of Personal Income. Source: Permanent Fund Dividend amount from the Alaska Permanent Fund Dividend Division. Per-capita income data from U.S. Census Bureau, American Community Survey and 1990 and 2000 Censuses, and U.S. Bureau of Economic Analysis, Personal Income by State (Berman, 2018).
Seperti terlihat dalam grafik di atas, pada tahun 2015 dividen yang diterima per orang mencapai $2,072 atau sekitar $8,288 jika di dalam keluarga tersebut memiliki empat orang anggota keluarga (masing-masing individu menerima). Pada tahun 2017, dividen yang diterima turun drastis menjadi $1,100 karena bagi hasil yang diperoleh digunakan untuk hal lain oleh pemerintah. Bahkan, pada saat harga minyak dunia turun, individu hanya akan menerima sekitar $800-$900 per bulan.
Dengan fluktuasi yang demikian tinggi, tentu cukup sulit mengukur dampak atau efek PFD ini terhadap produktivitas ekonomi Alaska secara keseluruhan. Bisa saja membandingkan kondisi sebelum dan sesudah program PFD diterapkan. Namun, hal itu juga masih mengandung banyak kelemahan karena terlalu banyak perbedaan kondisi ekonomi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti resesi ekonomi Amerika (1981) secara keseluruhan. Para ahli kemudian mencoba menggunakan pendekatan yang disebut dengan metode “kontrol sintetis” (synthetic control). Seperti yang dijabarkan dalam penelitian Jones & Marinescu (2018) dimana mereka mengkombinasikan beberapa negara bagian yang memiliki pola employment, part-time work, dan statistik lainnya yang relatif mirip dengan Alaska sebelum program PFD diluncurkan. Tentu dengan mengkombinasikan lebih dari satu negara bagian, akan diperoleh perbandingan yang lebih kuat.
Seperti terlihat dalam grafik di bawah ini, Nampak tidak banyak perbedaan antara Alaska dengan negara bagian pembanding lainnya dalam hal employment rate sebelum dan sesudah tahun 1982 (1977-2014). Artinya, pemberian PFD atau cash-transfer kepada warga ini tidaklah mempengaruhi employment rate seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, bahwa ketika menerima uang cuma-cuma maka mereka akan berhenti bekerja.
Tidak hanya membandingkan dengan kombinasi beberapa negara bagian yang berbeda, Jones dan Marinescu juga membandingkan employment rate warga Alaska dengan setiap negara bagian tersebut. Mereka menggunakan data dari tahun 1977 sampai dengan 2014. Hasilnya, tetap tidak ada perbedaan yang signifikan (-0.0004) antara Alaska dengan setiap negara bagian tersebut. Artinya, pemberian PFD tidaklah memberikan dampak buruk bagi employment.
Untuk lebih yakin lagi, Jones dan Marinescu pun menggunakan data lainnya untuk pembanding. Kali ini adalah data partisipasi angkatan kerja (labor force participation). Hasilnya juga masih sama. Perbedaan yang mereka temukan adalah ketika membandingkan Alaska dengan synthetic Alaska dalam hal kerja paruh waktu (part-time rate). Setelah program PFD dijalankan (pasca 1982) nampak peningkatan rata-rata tingkat kerja paruh waktu di Alaska dibandingkan dengan negara-negara bagian pembandingnya dengan rata-rata selisih sekitar 1.8 poin. Tidak terlalu besar namun cukup menunjukkan perbedaan seperti terlihat dalam grafik di bawah ini.
Mereka menduga perbedaan ini disebabkan oleh setidaknya dua kemungkinan. Pertama, orang-orang menjadi memiliki keberanian yang lebih untuk keluar dari pekerjaan tetap dan mencoba pekerjaan freelance karena merasa “aman” telah mendapatkan jaminan bulanan untuk kebutuhan dasarnya (PFD). Kedua, mereka yang sebelum program PFD diluncurkan adalah pengangguran, kini memiliki pekerjaan paruh waktu baru karena memiliki modal (PFD) untuk membayar transportasi, penitipan anak, atau hal-hal lainnya yang sebelumnya tidak mampu dipenuhi. Kedua hal ini mengindikasikan apa yang disebut sebagai “marginally positive employment effect” dimana ia menjadi penanda masuknya tenaga kerja baru meskipun dalam bentuk kerja paruh waktu. Di sisi lain, kerja paruh waktu berarti “jam kerja” yang kemungkinan lebih pendek dan fleksibel. Ini juga bisa menjadi indikator lain untuk kebebasan mengelola waktu yang lebih besar dari sebelumnya. Inilah mengapa UBI model Alaska ini menuai banyak pujian dan dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil.
Pertanyaannya kemudian, jika Alaska memiliki minyak bumi dan gas sebagai sumber daya untuk menerapkan kebijakan UBI, apa yang bisa dimiliki negara lain untuk menjalankan UBI ini? bukankah tidak semua negara memiliki kekayaan yang sama dengan Alaska. Jawabannya: “minyak bumi” untuk era sekarang dan masa yang akan datang tidak lain dan tidak bukan adalah teknologi! Ya, teknologi otomatisasi dengan kecerdasan buatan serta mesin-mesin yang akan menggantikan kerja-kerja manusia itulah yang akan menjadi sumber daya agar sebuah negara mampu menghasilkan dividen bagi seluruh warganya.