Pada tahun 2007, Pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang tak lain adalah bentuk dari Conditional Cash Transfer (CCT) yang sudah lebih dulu dikenal di negara-negara lain. PKH ini pada awalnya menyalurkan uang tunai kepada rumah tangga sangat miskin dengan besaran antara Rp. 200.000,- s.d. Rp. 600.000,- per triwulan. Desain dan tujuan spesifik dari PKH ini antara lain: (1) meningkatkan kondisi sosio-ekonomi rumah tangga termiskin (2) meningkatkan tingkat pendidikan anak-anak (3) memperbaiki status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu melahirkan, dan anak di bawah umur 6 tahun di rumah tangga termiskin dan (4) meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan, terutama untuk rumah tangga termiskin. Dibawah Kementerian Sosial, pilot project PKH diterapkan di 5 Provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur) serta 2 provinsi tambahan lainnya yaitu Sumatera Barat dan DKI Jakarta.
Pada tahun 2011, Bank Dunia meliris laporan hasil evaluasi Program Keluarga Harapan (PKH). Hasil evaluasi Bank Dunia menunjukkan bahwa program PKH ini memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi, peningkatan akses dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dasar, dan peningkatan perilaku hidup sehat pada rumah tangga sangat miskin penerima program. Namun demikian, untuk peningkatan pemanfaatan layanan pendidikan dasar belum menunjukkan kemajuan yang berarti (Laporan lengkap dapat diunduh disini). Banyak faktor penyebab ketidakberhasilan program ini di beberapa tempat, antara lain faktor geografis yang mempengaruhi ketersediaan layanan dasar kesehatan dan pendidikan, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan penerima program, tingkat pendapatan, hingga masalah gender.
Namun secara umum, sejak bergulir pada tahun 2007 yang lalu hingga saat ini, Direktorat Jaminan Sosial mencatat bahwa PKH merupakan program yang terbukti sangat efektif mengurangi kemiskinan. PKH telah mengangkat sekitar 28,2 persen penerimanya keluar dari garis kemiskinan. Selain itu, peserta PKH juga telah meningkat angka konsumsinya rata-rata sebesar 14 persen, begitu juga dengan akses mereka terhadap aneka layanan kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2016, PKH akan menyasar kelompok rentan baru yaitu penyandang disabilitas berat dan lansia berusia 70 tahun ke atas. Jumlah penerima dan jangkauan sasaran PKH juga terus ditingkatkan oleh pemerintah. Meskipun, seperti disampaikan oleh Bappenas, dampak kenaikan jumlah penerima manfaat program ini tentu saja akan berpengaruh pada besaran uang tunai yang akan diterima.
sumber: Kementerian Sosial RI
Dalam kebijakan penerapan PKH tahun 2017 Pemerintah juga mulai menyederhanakan komponen bantuan untuk meningkatkan transparansi dan menyederhanakan administrasi. Komponen dan besaran bantuan PKH pada saat ini antara lain: KPM Reguler (Rp. 1.890.000,-), KPM Lanjut Usia (Rp. 2.000.000,-), KPM Penyandang Disabilitas (Rp. 2.000.000,-), dan KPM di Papua dan Papua Barat (Rp. 2.000.000,-). Penyederhanaan ini menjadi sangat penting mengingat pemerintah berkeinginan untuk terus memperluas cakupan program ini. Dengan paket yang lebih “universal” (sebagaimana prinsip dan model dalam Basic Icome Guarantee), diharapkan PKH tidak hanya akan tepat sasaran tetapi juga tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat administrasi serta lebih penting dari itu adalah mengurangi potensi penyelewengan/korupsi (moral hazard). Disamping terus ditingkatkan kualitas penyelenggaraannya, pekerjaan rumah pemerintah adalah memperluas cakupan PKH atau CCT ini, mengingat jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, cakupan CCT Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Brazil, Colombia, dan bahkan Philipina.