Pengalaman Kebijakan Bantuan Langsung di Indonesia (1)

Pemberian bantuan uang tunai secara langsung (cash transfer) dari negara kepada masyarakat bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sebutlah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah dikenal luas serta sempat menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan para pengambil kebijakan. Program BLT merupakan contoh bantuan sosial yang disebut sebagai Unconditional Cash Transfer (UCT) sedangkan PKH adalah bentuk dari Conditional Cash Transfer (CCT). Dari penelitian yang dilakukan oleh Kwon & Kim (2015) berjudul “The Evolution of Cash Transfer in Indonesia: Policy Transfer and National Adoption” dapat kita lihat bagaimana evolusi program-program jaminan sosial di Indonesia dua dekade yang lalu (tahun 1999 s.d. 2008).

 

Gambar 1. Evolusi program pendampingan sosial di Indonesia (Kwon and Kim, 2015:432)

Dari tabel di atas terlihat bahwa program pendampingan sosial, termasuk di dalamnya skema BLT, bermula dari krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998. Pemerintah pada waktu itu tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti saran dan dorongan dari lembaga internasional, khususnya IMF, untuk menerapkan program-program jaminan sosial yang bersifat darurat untuk melindungi kelompok masyarakat miskin (menurut kategori BPS) dari dampak krisis ekonomi. Dari sini kita kemudian mengenal program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang mencakup aspek kesehatan dan pendidikan serta subsidi beras. Banyak kajian dan kritik yang menyatakan bahwa program JPS pada waktu itu tidak efektif, efisien, dan tepat sasaran. Program Raskin (Beras Untuk Masyarakat Miskin) yang kemudian sangat populer juga muncul pada tahun 2002 dan terus mengalami perbaikan-perbaikan dalam prosesnya.

Pasca krisis 1997-1998, Indonesia kembali menghadapi krisis lainnya pada tahun 2005 ketika terjadi krisis dan kenaikan harga minyak dunia. Pada periode ini, pemerintah kembali meluncurkan program untuk mengalihkan subsidi BBM secara langsung kepada rumah tangga miskin. Dari kebijakan BLT inilah kemudian Indonesia mulai mencoba membangun infrastruktur dan kelembagaan yang memadai untuk mendata, menjangkau, dan memonitor serta mengevaluasi pemberian cash transfer kepada masyarakat miskin di seluruh Indonesia. Tentu saja banyak persoalan dalam implementasi di lapangan dalam paket kebijakan ekonomi ini. Namun demikian, tidak sedikit pula pelajaran yang dapat diambil oleh pemerintah dan masyarakat untuk kemudian berupaya mengintegrasikan bantuan tunai langsung ini dengan jaminan sosial lainnya di masa mendatang. Termasuk, mempertimbangkan penerapan Basic Income Guarantee (BIG)/Jaminan Pendapatan Dasar (JPD) yang menuntut kesiapan infrastruktur, kelembagaan, dan sistem yang lebih permanen dan holistik.

Related Posts