Kelebihan dan Kekurangan Basic Income Guarantee (2)

Disamping berbagai kelebihan yang terkandung dalam gagasan, konsep, serta teori tentang Basic Income Guarantee (BIG), tak sedikit pula berbagai kritik yang menyoroti kekurangannya. Salah satu negara yang memiliki kekhawatiran serta pengalaman menolak gagasan BIG adalah Swiss. Berbeda dengan Finlandia, bagi pemerintah Swiss BIG dianggap sangat membebani pengeluaran negara serta diprediski menyebabkan penurunan moral (moral disruptive) dan motivasi warga negara. Berikut ini adalah beberapa alasan yang dianggap sebagai kelemahan BIG oleh berbagai pakar dan pengamat:

Satu, menyebabkan tekanan finansial pada negara. Sangat bisa dimengerti manakala negara memberikan uang tunai secara langsung kepada seluruh warga negaranya, maka pengeluaran pemerintah akan membengkak dan bahkan beberapa negara mungkin tidak akan sanggup untuk melakukannya. Bagi negara dengan populasi sangat besar seperti China, India, Amerika Serikat, dan Indonesia, tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Ditambah, apabila besaran uang tunai yang diberika terlalu kecil maka akan kurang efisien dalam mengentaskan kemiskinan. Sebaliknya, jika jumlahnya terlalu besar, tentu akan mengganggu neraca keuangan negara secara keseluruhan.

Dua, hambatan dan tantangan administratif. Masalah klasik dalam program-program penanggulangan kemiskinan adalah persoalan administrasi dan birokrasi dalam menjalankannya. Jika negara, provinsi, atau kota yang menerapkan BIG tidak ditopang oleh sistem administrasi yang memadai, maka akan terjadi kebocoran keuangan disana-sini: inefisiensi. Hal paling mendasar misalnya terkait administrasi atau pendataan jumlah penduduk yang riil seringkali masih menjadi hambatan di beberapa negara atau wilayah. Memiliki data tunggal kependudukan, informasi pendapatan warga yang valid, serta penggunaan teknologi yang efisien menjadi pilar agar BIG menjadi aplikatif dan tepat sasaran.

Tiga, dianggap memberikan insentif yang negatif. Isu moral masih menjadi sentral dalam perdebatan BIG. Banyak kalangan yang khawatir bahwa ketika seseorang menerima BIG ia akan secara total berhenti bekerja atau menurun drastis motivasi bekerjanya. Jika terjadi masalah seperti ini, maka masyarakat secara keseluruhan akan dirugikan serta roda perekonomian akan mandeg. Namun demikian, asumsi ini juga mendapat sorotan karena melupakan hasrat dasar manusia untuk berinteraksi, bekerja, dan mendapatkan kepuasannya melalui bekerja. Pada masyarakat modern, letak “martabat” manusia seringkali berpusat pada pekerjaannya, sehingga kekhawatiran akan menurunnya motivasi bekerja ini dianggap terlalu berlebihan. Beberapa pakar menyarankan “jalan tengah” berupa pemberian kewajiban tertentu kepada penerima BIG untuk tetap mendorongnya berkontribusi kepada masyarakat dan lingkungannya. Prinsip ini dikenal sebagai pendekatan timbal balik atau objective reciprocity.

Empat, dampak terhadap pasar tenaga kerja dan jaminan kepada orang miskin. Sebagian pihak mengkhawatirkan dengan adanya BIG akan mengurangi posisi tawar para serikat buruh terhadap perusahaannya. BIG juga bisa menjadi faktor pemicu menurunnya upah minimum yang selama ini menjadi inti perjuangan para buruh. Perubahan struktur dan kondisi ketenagakerjaan ini pun bisa mengarah pada kemungkinan-kemungkinan yang semula mungkin tidak diprediksikan, termasuk pemotongan anggaran pemerintah untuk pengeluaran publik atau digantikannya sistem jaminan sosial yang sedang berjalan sehingga berdampak negatif kepada kelompok-kelompok rentan atau miskin lainnya.

Lima, dampak terhadap migrasi. Beberapa negara di Eropa juga mengkhawatirkan munculnya arus migrasi para pendatang jika mereka menerapkan BIG. Hal ini tentu dapat dimengerti, mengingat orang akan mendatangi suatu negara yang bersedia menjamin pendapatan warga negaranya. Kehadiran imigran tentu akan menjadi isu serius dalam keberlanjutan skema BIG ini. Sebagian pakar pro BIG menyarankan agar ada batas tinggal minimum bagi penerima BIG, tetapi ide ini juga dapat melahirkan diskriminasi yang berujung pada polarisasi pasar tenaga kerja, dimana imigrant akan menjadi kelas miskin baru karena mereka hanya mampu mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah (low-income jobs).

Berbagai kekhawatiran maupun optimisme terhadap BIG di atas memang belum benar-benar terjadi dan masih menjadi perdebatan yang serius di kalangan praktisi dan pemerhati kebijakan politik maupun ekonomi. Banyak faktor yang harus diukur dan menjadi bagian dari pertimbangan. Untuk memastikan apakah skema BIG ini mampu mendorong perubahan positif pada masyarakat – terutama pada kondisi jobless future di masa mendatang – diperlukan lebih banyak inisiatif untuk menerapkannya di lapangan. Atau, jika negara mampu menghadirkan pilihan solusi lainnya, maka pilihan tersebut juga harus segera dicoba di lapangan. Setiap negara – termasuk individu seperti kita – sedang berlomba dengan waktu dan masa depan yang sebentar lagi akan didominasi oleh kompetisi antar mesin, adakah jalan keluar yang lebih menjanjikan?

 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *