Sudah menjadi kewajaran jika ada kelompok yang pesimis dan optimis terhadap gagasan Basic Income Guarantee (BIG) atau Jaminan Pendapatan Dasar (JPD) ini. Kelompok pesimis tentu memiliki argumen bahwa BIG tidak relevan untuk dijalankan karena akan menyebabkan orang menjadi malas bekerja dan tidak memiliki motivasi. Sebaliknya, kalangan optimis justru berpendapat bahwa BIG akan mendorong lebih banyak kreativitas karena setiap orang memiliki kebebasan dan peluang yang sama. Kalangan pesimistik tentu meragukan bahwa BIG mampu mengentaskan kemiskinan. Malah sebaliknya ia mempertebal “mental miskin” yang selama ini sudah berkembang dalam budaya masyarakat kelompok miskin. Bertolak belakang dari itu, kelompok optimistik dengan telak mengatakan bahwa uang mampu memberdayakan orang miskin. Argumen mereka, kemiskinan itu bukan soal mentalitas atau karakter saja, kemiskinan adalah ketiadaan uang tunai (lack of cash). Kalangan optimistik percaya bahwa orang miskin juga mampu mengelola keuangannya sendiri dan keluar dari lingkaran kemiskinan dengan caranya sendiri.

Perdebatan di atas tentu tidak akan pernah berakhir. Oleh karena itu, satu-satunya cara adalah dengan memperbanyak studi lapangan atau kajian empiris terhadap penerapan BIG ini. Meningkatnya minat ilmuwan, aktivis, dan pemerintah terhadap peluang penerapan BIG ini semakin pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Karl Widerquist menyebut tren ini sebagai gelombang BIG ketiga. Wacana tentang BIG ini pernah menarik perhatian secara global pada tahun 1910-1940an, 1960-1970an, dan kini, setelah tahun 2010an, BIG kembali mendapatkan perhatian dan dukungan yang jauh lebih besar daripada dua periode sebelumnya itu. Meningkatnya perhatian pada konsep dan penerapan BIG ini tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi dunia saat ini. Ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi antara orang miskin dan kaya bukan hanya meluas di negara berkembang, tetapi juga semakin tinggi di negara maju seperti Amerika Serikat. Bahkan mantan presiden AS, Barack Obama, memprediksi AS akan menerapkan BIG pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.

Kondisi lain yang mendukung perkembangan BIG adalah kemajuan teknologi (komputer dan robot) yang mengkhawatirkan banyak negara. Hal ini terkait dengan kekhawatiran akan digantikannya banyak pekerjaan manusia oleh robot (baca: mengapa basic income penting?). Bukan hanya negara dan masyarakatnya yang khawatir akan masa depan pekerjaan, melainkan juga para kapitalis dan perusahaan-perusahaan juga mengkhawatirkan stabilitas ekonomi di masa mendatang ketika jutaan orang kehilangan pekerjaan dan penghasilannya. Dalam istilah lain, kemajuan teknologi yang demikian pesat diprediksi akan menelan sistem ekonomi kapitalis yang saat ini dominan di seluruh dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, mereka pun gencar mendanai dan mempromosikan penerapan BIG di beberapa negara di dunia.

Penyebarluasan gagasan BIG ini juga dengan cepat meluas ke seluruh dunia dimana banyak aktivis, politisi, akademia dan pemerintah pada level lokal dan regional mulai mengadopsi dan bergabung dalam jejaring BIG global, salah satunya adalah Basic Income Earth Network (BIEN) yang memiliki afiliasi cukup besar dari berbagai negara di dunia. Mereka juga menyelenggarakan konferensi ilmiah secara rutin, menerbitkan publikasi ilmiah, mengembangkan pilot project, serta bertukar ide-ide tentang BIG secara lebih spesifik sesuai dengan karakter negara masing-masing. Pada gelombang ini, semua pihak berlomba untuk menyusun dan mengevaluasi skema BIG yang mereka usulkan secara empirik. Hal ini pula yang melatarbelakangi kehadiran IndoBIG Network sebagai jejaring informal bagi mereka yang berminat mendalami BIG dan menyusun proposal penerapannya di Indonesia serta menjadi bagian dari gelombang ketiga Basic Income Guarantee Movement di dunia.

Related Posts