Corona dan Jaminan Penghasilan Dasar Untuk Warga Negara

Ketika Andrew Yang mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat, banyak yang memandangnya sebelah mata. Modal sebagai seorang wirausahawan muda saja ternyata tidak cukup. Apalagi ia tidak sekaya pengusaha lainnya seperti Mike Bloomberg atau Donald Trump. Ditambah, Ia tidak memiliki pengalaman duduk di pemerintahan sama sekali, membuat posisinya menjadi pemain pinggiran.

Meski berangkat dengan posisi kurang menguntungkan, secara mengejutkan, Ia justru melaju sangat kencang dalam “balapan” capres ini. Melampaui politisi kawakan dari Partai Demokrat lainnya yang rontok lebih awal, seperti senator Kamala Haris, Beto O’Rourke, Kirsten Gillibrand, dan Cory Booker.

Salah satu yang mendorongnya melaju demikian jauh merebut hati para suporter Amerika tak lain adalah platform kampanyenya itu sendiri: Freedom Dividend!

Freedom Dividend ala Andrew Yang tak lain adalah terjemahan dari gagasan Universal Basic Income (UBI). Premis usulannya adalah janji untuk memberikan uang tunai sejumlah 1,000 USD secara cuma-cuma kepada setiap warga negara Amerika Serikat yang berusia di atas usia 18 tahun. Jaminan penghasilan dasar ini akan diberikan setiap bulan dengan pembiayaan yang bersumber dari pajak (Value Added Tax) dan sumber-sumber lainnya.

Meskipun Andrew Yang harus meninggalkan gelanggang kompetisi Capres Demokrat pada pertengahan Februari 2020, namun tidak dengan gagasan dan platform kampanyenya itu. Seruannya untuk lekas memberikan jaminan penghasilan dasar kepada warga negara Amerika justru semakin menguat dan memiliki dampak jangka panjang. Terlebih ketika wabah Corona menghantui perekonomian negara adi daya ini. Jika gagasan UBI Andrew Yang semula dibingkai untuk meredam ancaman teknologi yang akan merebut tenaga kerja manusia, kini semakin relevan dan menemukan momentumnya ketika pandemik Corona di depan mata.

Kepercayaan diri Amerika terhadap kekuatan ekonominya sendiri pun nampak mulai melemah.

Ini terlihat dari respon Gedung Putih yang awalnya nampak mengecilkan dampak Corona, kini berbalik menjadi panik. Sekolah, bar, restoran, hingga konser-konser musik dan olah raga akhirnya diminta tutup sementara atau dibatalkan. Semula pemerintah AS menghimbau warga untuk menghindari kerumunan yang lebih dari 50 orang. Kini dipersempit menjadi 10 orang. Semua dianjurkan untuk tidak keluar rumah kecuali untuk urusan sangat penting. Di kampus-kampus, kuliah tatap muka digeser menjadi online. Jangan tanya soal harga saham dan kepanikan investor. Jatuhnya bursa saham Wall Street beberapa pekan belakangan inilah yang menjadikan gedung putih siaga penuh. Lampu merah!

Konferensi Pers Gedung Putih dan Rencana Memberikan Cek Sebesar 1,000 USD kepada warga Amerika Serikat sebagai stimulus ekonomi untuk menangkal dampak negatif corona.
Sumber foto: ctmirror.org

Skenario terburuk nampaknya harus disiapkan Gedung Putih. Diantara skenario itu, yang paling baru disebut (setidaknya beberapa jam sebelum tulisan ini dibuat) adalah wacana Gedung Putih untuk memberikan cek sebesar 1,000 USD kepada warga Amerika untuk meredam dampak buruk Corona terhadap ekonomi rumah tangga warga kelas menengah dan bawah. Bisa dibayangkan jika rumah tangga dipaksa bertahan di rumah selama berbulan-bulan, akan ada jutaan rumah tangga Amerika yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Termasuk untuk kebutuhan dasar seperti makan dan sewa rumah.

Meski kepastian soal jumlah dan kepada siapa saja “Emergency Basic Income” itu akan diberikan belum ada, setidaknya ini menjadi sebuah lompatan besar untuk terealisasinya Jaminan Penghasilan Dasar yang memang dibutuhkan untuk saat ini dan di masa depan (jika kita berhasil pulih dan kembali dalam kehidupan normal).

Di tengah situasi seperti saat ini, tanpa mengurangi rasa empati dan solidaritas terhadap ribuan korban virus corona di seluruh dunia, tentu menjadi momentum penting bagi kita untuk melakuan refleksi dan introspeksi. Baik secara individu, sosial, maupun dalam pengelolaan dan kebijakan berbangsa dan bernegara.

Jika ancaman teknologi dan artificial intelligence masih dianggap terlalu mengada-ada. Jika memberikan uang tunai secara cuma-cuma dianggap ide gila. Jika pemerintah yang menolong warganya dianggap rezim sosialis dan komunis (padahal banyak sekali pemikir neoliberal di belakang gagasan UBI ini). Maka mungkin benar kata orang bijak; perlu sebuah tragedi untuk membukakan mata kita semua.

Semoga kita semua bisa belajar dan selamat dari prahara corona ini.

Columbia, MO
Selasa, 17 Maret 2020

Oleh: Yanu Prasetyo
Founder, Indonesian Basic Income Guarantee (IndoBIG) Network

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *