Basic Income Bootcamp 2020: Membawa Utopia Menuju Realita

Kontributor: Iswan Heri

Apa sebenarnya imajinasi terbesar dari demokrasi? Pertanyaan semacam ini rasanya telah menempel di kepala saya cukup lama. Pertanyaan ini semakin tajam ketika saya mengenal konsep “Basic Income” (BI) dan berinteraksi di komunitas Indonesian BIG Network. Dalam kepala saya akhirnya muncul sebuah gagasan bahwa salah satu imajinasi demokrasi adalah kesejahteraan rakyat. Apa pun negaranya, siapa pun presidennya, kesejahteraan adalah PR yang tak pernah usai dalam satu babak.

Ketika ada informasi soal acara Basic Income Bootcamp 2020 (BIB), tak perlu berpikir dua kali bagi saya untuk mengirimkan formulir pendaftaran. Rasanya tidak sabar untuk bertemu orang-orang dari berbagai penjuru tanah air untuk menguliti konsep basic income dan mencari alternatif pelaksanaannya di Indonesia.

Uneg-uneg di kepala soal BI rasanya harus segera ditumpahkan agar saya mendapat gagasan baru nantinya. Saya memang beberapa kali mengikuti diskusi BI secara online. Jelas ada gagasan baru dan diskusi yang menyenangkan di sana. Tapi rasanya pertemuan langsung dengan penggandrung BI di bootcamp jelas bukanlah kesempatan yang datang dua kali. Semarang-Depok jelas bukan jarak yang pendek untuk ditempuh. Namun, rasanya saya perlu keluar dari zona nyaman agar gagasan soal BI semakin matang.

50 peserta terpilih dari 234 pelamar telah hadir di kampus FMIPA UI untuk mengikuti BIB di hari pertama. Saya tidak tahu imajinasi demokrasi di kepala tiap-tiap orang yang hadir saat itu. Pun saya tidak tahu bagaimana tanggapan peserta pada BI. Hanya saja dalam hati saya tersenyum, konsep BI ternyata memiliki pesona dan menarik hati banyak orang. Bicara soal BI tak pernah semenarik ini sebelumnya. Dan utopia rasanya selangkah lebih dekat menuju realita.

***

Basic Income dan Kesejahteraan Kelas Pekerja

BIB kali ini adalah acara pertama di Indonesia yang membahas BI dengan konsep tatap muka serta menghadirkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia dan dari bermacam latar belakang. Komposisi peserta BIB ini terdiri dari 50% mahasiswa (S1 dan S2) serta 50% dari kelompok lainnya (wartawan, peneliti, LSM, ASN, aktivis, pebisnis, dsb). BIB diselenggarakan pada tanggal 19-21 Februari 2020 di Gedung Multidisiplin FMIPA UI dan Aula Terapung Perpustakaan Pusat UI.

Selain komposisi peserta yang beragam, pembicara yang dihadirkan pun tidak kalah menariknya. Beberapa pembicara tersebut diantaranya: Dr.rer.pol. Sonny Mumbunan (Founder Basic Income Lab RCCC UI), Ah Maftuchan (Executive Director PRAKARSA), Ellena Ekarahendy (Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)), Imanzah Nurhidayat (Chief Information Officer Corechain), Dian Afriyanie (Peneliti Institut Teknologi Bandung), Budiman Sudjatmiko (Ketua Umum Innovator 4.0), Suraya Afiff, Ph.D (Peneliti Departemen Antropologi Universitas Indonesia), Sugeng Bahagijo (Direktur, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)), Prof. Philippe van Parijs (Universitas Louvain, Belgia), Gabriel Asem (Bupati Tambrauw, Provinsi Papua Barat), dan Gusti Ayu Ketut Surtiari (Peneliti Penduduk dan Lingkungan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ).

Acara pada hari pertama dibuka oleh Prof. Dr. Budi Haryanto (Ketua RCCC Universitas Indonesia) dan Georg  Buchholz (Program Director Forest and Climate Change Programme (FORCLIME) Indonesia). Sedangkan materi pertama, Landasan Ekonomi Basic Income diberikan oleh Sonny Mumbunan. Materi ini sebagai gambaran awal kepada seluruh peserta tentang konsep BI dan penerapannya.  

Pemateri lain di hari pertama adalah Ellena Ekarahendy (Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Ellena berbicara tentang “Konteks Produksi Ekonomi: Kerja Kreatif”. Ellen membeberkan tentang “future of work” yang ditandai dengan adanya: kerja digital, sistem kerja yang berbeda dari sistem konvensional, serta revolusi 4.0 yang mengarah ke automasi di dunia kerja. Sekalipun pekerja kreatif terkadang mendapatkan pendapatan yang relatif besar apabila mendapatkan rekanan dari luar negeri, para pekerja ini tetap terancam posisinya mengingat tidak ada kontrak kerja yang pasti (hitam di atas putih) dengan pemberi kerja serta lemahnya daya tawar pekerja kreatif jika menghadapi masalah.

Terkait BI ada satu pertanyaan menarik dari seorang peserta, yaitu kekhawatiran jika pemberian BI kepada masyarakat akan dijadikan alasan bagi perusahaaan untuk menggaji karyawan lebih murah dari sebelumnya. Kekhawatiran ini mungkin saja terjadi jika tidak ada regulasi yang jelas mengenai BI dan kaitannya dengan hak-hak pekerja. Namun, jika kita melihat kembali praktik BI di Alaska yang juga disebut dengan Permanent Fund Dividend (PFD), maka kekhawatiran tersebut sebenarnya bisa dibantah.

Pemberian PFD di Alaska justru menambah kekuatan daya tawar pekerja terhadap perusahaan, karena pekerja lebih memiliki keberanian untuk keluar dari pekerjaan tetap jikalau tempat bekerjanya tersebut tidak memberikan jumlah jaminan pendapatan sesuai yang diharapkan pekerja.  Pekerja bisa memilih bekerja freelance dengan durasi kerja yang lebih fleksibel sehingga bisa memiliki kualitas waktu bersama keluarga yang lebih banyak. Kelebihan-kelebihan tersebut juga dikenal dengan istilah “marginally positive employment effect”.

Untuk memperjelas terkait BI dan dampaknya terhadap upah kaum pekerja, saya menanyakan kembali pertanyaan tersebut kepada Philippe van Parijs dari Universitas Louvain, Belgia. Jawaban Philippe menggembirakan sekaligus menguatkan argumen di atas. Philippe berkata bahwa BI bisa menjadi “senjata” bagi pekerja dalam hal bernegosiasi terhadap perusahaan.

Pekerja akan lebih percaya diri jika berhadapan dengan perusahaan agar memberikan upah yang bagus terhadap mereka. Pekerja juga akan memiliki kemerdekaan pilihan jika ingin berhenti bekerja dan mencari perusahaan dengan sistem pengupahan yang lebih baik maupun memilih berwirausaha.

Philippe van Parijs memberikan penjelasan tersebut pada kuliah umum di Aula Terapung Perpustakaan Pusat UI, hari Kamis (20/2/2020) dengan materi  “Public Lecture: Basic income Toward Social, Economic and Ecological Transformation – a Global Perspective”. Selain 50 peserta BIB, dalam forum tersebut juga dihadiri berbagai kalangan seperti akademisi, dosen, wartawan, mahasiswa, aktivis, dsb. Forum berjalan lancar dan peserta forum sangat aktif ketika sesi tanya  jawab dilakukan. Melihat antusiasme peserta dalam kuliah umum dan BIB secara keseluruhan, saya semakin percaya bahwa prospek Basic Income/Universal Basic Income di Indonesia akan semakin cerah.  

Penulis (Kanan) Berfoto Bersama Prof. Philipe Van Parijs (Kiri) di sela-sela acara Basic Income Bootcamp 2020 di Universitas Indonesia (UI)

Related Posts