Memberikan uang tunai dalam situasi bencana atau krisis kemanusiaan ternyata lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan memberikan bantuan dalam bentuk non-tunai. The Power of Financial Aid, sebuah situs yang didedikasikan untuk mengumpulkan fakta dan data tentang bantuan tunai ini merangkum berbagai alasan dan temuan lapangan yang memperkuat argumentasi ini. Tentu saja, bantuan tunai tidaklah selalu menjadi solusi terbaik, namun dampaknya pada korban bencana tersebut terbukti jauh lebih besar dibanding bantuan non-tunai. Berikut ini adalah beberapa alasan dan temuan studi di lapangan tersebut:
Keluarga akan dapat membeli apa yang menjadi kebutuhan mendesaknya dan meminimalisir uang yang terbuang sia-sia
Setiap individu dan keluarga memiliki prioritas kebutuhan yang berbeda, baik di masa normal maupun di tengah bencana. Maka tidak heran jika bantuan tunai akan merefleksikan pemenuhan skala prioritas ini secara lebih baik dibandingkan dengan bantuan non-tunai. Sebaliknya, banyak bantuan non-tunai, semisal bahan pangan, yang seringkali kurang tepat sasaran. Sekitar 95% dari dana kemanusiaan dihabiskan untuk makanan dan barang-barang lainnya. Terkadang, bentuk bantuan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan korban, tapi juga seringkali meleset. Sebuah survey yang dilakukan di lima negara di Timur Tengah (World Humanitarian Council, 2015) tentang seberapa sesuai dan tepat bantuan non-tunai ini mengungkapkan bahwa dengan skala maksimum 10, rata-rata penerima bantuan menjawab di skala 3. Artinya, bantuan non-tunai yang diberikan tersebut sangat jauh dari harapan dan kebutuhan si penerima.
Barang-barang bantuan yang tidak diinginkan tersebut pada akhirnya akan dijual kembali (lebih dari 50%). Bahkan dijual dengan harga sangat murah untuk kemudian hasilnya mereka belanjakan untuk memenuhi kebutuhan sebenarnya. Tentu saja hal ini mengurangi dampak positif dari bantuan tadi, baik secara nilai maupun ketepatgunaannya. Lebih jauh, sebuah studi di Lebanon juga menunjukkan sekitar 80% penerima bantuan kemanusiaan lebih memilih uang tunai dibanding jenis bantuan lainnya. Hanya 5% saja yang menginginkan bantuan barang dan 15% yang meminta kombinasi keduanya.
Bukan hanya penerima bantuan yang lebih suka bentuk tunai, namun para ekonom – seperti Amartya Sen – juga cenderung mendukung bantuan tunai ini karena dianggap akan mampu mengingkatkan kadar kesejahteraan si penerima dibanding dengan pemberian non-tunai dengan nilai yang sama. Dampak bantuan tunai ini akan berlipat-lipat manakala penerima bantuan juga mampu membelanjakannya dengan tepat. Dan berbagai kajian, termasuk eksperimen UBI, telah membuktikan kecenderungan ini. Di mana asupan nutrisi, kesehatan, akses pada pendidikan, dan insentif pada tenaga kerja akan ikut meningkat melalui bantuan tunai tersebut.
Komunitas lokal akan menjadi lebih tercukupi secara ekonomi (self-sufficient) dan selanjutnya akan mengurangi ketergantungan mereka pada bantuan dari luar
Seperti halnya suntikan ”darah segar”, distribusi uang ke dalam perekonomian akan mampu menghasilkan ”efek berganda” yang ujungnya akan membantu memperkuat dunia usaha, meningkatkan konsumsi, dan menciptakan lapangan kerja baru yang menguntungkan bagi seluruh anggota masyarakat. Banyak studi mencatat bahwa multipliers of financial aid biasanya antara 1.5 hingga 2.5, dimana ketika uang tunai masuk sebesar 1 Triliun rupiah, misalnya, akan mampu menciptakan pendapatan 1,5 – 2.5 Triliun. Studi kasus di Meksiko menunjukkan bahwa konsumsi barang-barang meningkat hingga 12% dari program bantuan tunai pemerintah. Uang tersebut tidak hanya habis dikonsumsi, namun juga akan diinvestasikan ke dalam aset produktif lainnya seperti binatang ternak atau tanah. Investasi ini akan mampu meningkatkan konsumsi hingga 24% bahkan setelah program bantuan tunai itu berakhir. Sebagian pihak mungkin mengkhawatirkan adanya inflasi sebagai dampak bantuan tunai skala besar. Namun demikian, studi Bank Dunia terhadap 30 program bantuan finansial ini menunjukkan bahwa tidak terjadi inflasi yang signifikan. Sebaliknya, masuknya bantuan dalam bentuk baranglah yang justru akan berdampak langsung pada pasar lokal.
Negara dapat mengumpulkan pajak lebih banyak sehingga mampu menyiapkan dana untuk mengatasi krisis di masa depan dengan lebih baik
Transfer tunai biasanya diberikan kepada rumah tangga melalui rekening Bank, transfer elektronik, atau saluran formal lainnya yang mudah dilacak oleh pemerintah setempat. Artinya, bantuan finansial dapat secara langsung mendorong warga negara untuk masuk dalam sistem finansial formal tersebut, sehingga memudahkan pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Meskipun bantuan uang tunai itu sendiri bebas pajak, namun aktivitas lanjutannya memiliki kemungkinan untuk diambil pajaknya oleh pemerintah. Ada sekitar 2 milyar orang di negara berkembang yang belum terjangkau sistem keuangan formal ini. Wajar jika negara berkembang biasanya hanya mampu mengumpulkan 12% GDP nya dari pajak, bandingkan dengan negara anggota OECD yang rata-rata mampu mengumpulkan pajak hingga 33%. Dengan kata lain, transfer tunai dari negara kepada warga negara atau rumah tangga akan mampu menjadi pendorong perekonomian secara menyeluruh.
Pembayar pajak di luar negeri dan lembaga donor lainnya akan mampu menyimpan anggaran lebih besar karena efisiensi yang dihasilkan dari program transfer tunai
Selain lebih disukai, lebih tepat sasaran, dan mampu menggerakkan roda perekonomian, bantuan tunai juga jauh lebih efisien dibanding bantuan barang. Pendeknya jalur distribusi dan birokrasi membuat transfer tunai juga meminimalisir potensi korupsi. Di Ethiopia, World Food Program menemukan bahwa transfer tunai lebih hemat 25%-30% dibanding dengan bentuk bantuan lainnya. Di negara-negara lainnya, penghematan bisa mencapai 13% sampai 23%. Penggunaan teknologi telepon genggam, misalnya, adalah pendorong utama penghematan ini. Selain itu, penggunaan teknologi biometrik sebagai metode klaim bantuan juga telah memangkas banyak biaya administrasi dan modus-modus pencurian bantuan sosial lainnya.
Dukungan untuk program-program transfer tunai di seluruh dunia semakin meluas
Lebih dari 200 juta orang di planet bumi ini yang terdampak berbagai bencana alam, perang, dan krisis kemanusiaan lainnya. Belum termasuk mereka yang terdampak oleh pandemi COVID-19. Sayangnya, hanya sekitar 6% dari total 25 Triliun USD bantuan kemanusiaan ini yang berbentuk transfer tunai. Tentu banyak ahli yang sepakat dan terus mendorong agar persentase bantuan tunai ini bisa ditingkatkan. Idealnya, proporsi bantuan tunai ini bisa tujuh kali lebih besar dari yang ada sekarang. Alasan utamanya adalah bantuan tunai ini dinilai cocok untuk segala bentuk bencana, apalagi jika ada kombinasi dengan bantuan non-tunai lainnya sebagai pendamping atau pelengkap.
***