Bagaimana IMF Menyikapi Gagasan Basic Income?

Protes Aktivis terhadap Bank Dunia dan IMF di Washington DC tahun 2002: Sumber Foto RT

 

Jaminan Pendapatan Dasar atau Basic Income Guarantee (BIG) memang sempat menjadi gagasan yang “ditertawakan” alias dianggap remeh dan mustahil dijalankan. Ide memberikan “Upah Minimum” kepada semua warga negara, baik yang bekerja maupun yang tidak, memang mengundang kontroversi dan pada akhirnya diacuhkan karena dianggap mimpi disiang bolong. Akan tetapi, keadaan tersebut belakangan berubah seiring dengan perubahan arah ekonomi dunia. Hari ini, banyak negara dan pakar yang dulu menganggap ide BIG ini angin lalu justru mulai mengkaji dan menguliti dengan serius gagasan BIG ini. Bukan hanya pemerintah, kalangan bisnis, ekonom, praktisi, dan akademisi serta lembaga non-profit yang bergerak pada program-program penanggulangan kemiskinan mulai melirik dan bahkan menjadi supporter utama gagasan BIG ini. Perubahan paling menonjol juga terjadi pada sikap lembaga keuangan Internasional seperti International Monetery Fund (IMF) yang tak lain adalah peracik utama sistem ekonomi yang berjalan saat ini. Lalu, apa kata IMF tentang Basic Income ini?

Dalam laporan Fiskal terbarunya yang dikutip oleh Forbes, IMF mengatakan bahwa BIG dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan dan melindungi orang-orang yang terkena dampak perubahan teknologi dan globalisasi. Ketimpangan pendapatan antar negara memang telah turun secara signifikan, terutama dalam dekade terakhir, namun hal ini diikuti oleh meningkatnya ketimpangan ekonomi dalam negeri di berbagai negara. IMF mengatakan bahwa 53% negara telah mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan, termasuk negara-negara maju. Dikhawatirkan, ketidaksetaraan pendapatan yang terus-menerus terjadi ini menciptakan jurang si kaya (minoritas) dan si miskin (mayoritas) menjadi semakin lebar. IMF mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, pendapatan orang berpenghasilan rendah dan menengah di negara maju mengalami stagnasi, sementara kenaikan 1% orang kaya teratas terus meningkat.

Akibatnya, muncul gejolak dan krisis politik yang mendalam karena kemarahan orang-orang yang menganggap diri mereka kehilangan banyak gerakan populis. Ketidakstabilan politik mengancam pertumbuhan dan kemakmuran global. Tidak heran jika kemudia IMF mengkhawatirkan ketimpangan ekonomi ini akan semakin menjadi-jadi. Sebagai upaya mencari solusi jangka panjang, IMF melirik BIG sebagai salah satu kebijakan yang patut dipertimbangkan. IMF menggambarkan BIG sebagai “gagasan berwawasan ke depan untuk mengatasi kelemahan sistem perpajakan dan transfer saat ini …. terutama selaras dengan bagaimana pasar tenaga kerja dan kontrak sosial dapat terus berkembang dengan perubahan teknologi”. Meskipun, biaya dan manfaatnya belum ditetapkan, termasuk resistensi yang terjadi di beberapa tempat terhadap gagasan ini. Oleh karena itu, IMF menyatakan perlunya menciptakan sebuah model ekonomi untuk mengevaluasi potensi penerapan BIG ini.

Lebih lanjut, IMF membagi negara-negara di dunia menjadi tiga kelompok:

Pertama, Negara dengan sistem transfer minimal atau tidak ada sama sekali (misal: Mesir, Bolivia)
Kedua, Negara dengan sistem transfer yang komprehensif dan progresif (misal: Prancis, Inggris)
Ketiga, Negara dengan sistem transfer yang tidak merata atau kurang progresif (misal: Brasil, Amerika Serikat)

Untuk ketiga kelompok negara tersebut, IMF mengajukan pertanyaan kunci terkait apakah ada contoh kasus adopsi BIG? Dalam kondisi seperti apa UBI diinginkan, dan bagaimana bisa dibiayai? atau, apakah sebaiknya pemerintah harus fokus pada penguatan kapasitas mereka untuk menerapkan kebijakan transfer yang telah teruji saja? Saran IMF, BIG akan lebih cocok untuk negara-negara di kelompok pertama, yaitu negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi atau ekstrim. IMF sangat tertarik pada BIG sebagai pengganti subsidi energi di negara-negara berkembang pengekspor minyak (baca juga: Pengalaman BLT di Indonesia). Tentu menarik untuk menyimak perkembangan kajian dan kebijakan IMF di masa-masa mendatang. Baik terkait BIG maupun terkait kemana arah perekonomian dunia akan berlabuh? akankah ketimpangan ekonomi ini semakin menjadi, atau sebaliknya, kemiskinan bisa “dihapuskan” dari sejarah umat manusia.

Berita lengkap bisa dibaca disini

Related Posts