Jaminan Penghasilan Dasar di Negara Berkembang

Haruskah negara berkembang memberi uang tunai kepada setiap warganya untuk bertahan hidup dan mengurangi kemiskinan ekstrem? Jika iya, apa yang kira-kira penerima akan lakukan dengan pendapatan tambahan tersebut? Apakah ini akan membuka pertumbuhan ekonomi lebih lanjut? Apa konsekuensi dari memberikan uang “cuma-cuma” ini kepada setiap orang? 

Itulah kira-kira pertanyaan umum yang sering mengemuka dalam diskusi Universal Basic Income, khususnya ketika membahas inisiatif penerapannya di negara-negara berkembang yang notabene dianggap belum siap menerapkan kebijakan radikal semacam itu.

MIT Economics, Abhijit Banerjee

Abhijit Banerjee, Profesor MIT dan penerima hadiah Nobel ekonomi tahun 2019, dalam sebuah kertas kerja berjudul “Universal Basic Income in The Developing World” yang dipublikasikan pada Februari 2019 lalu mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Menurutnya, salah satu tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah untuk memahami bagaimana cara meningkatkan pendapatan orang miskin. Dan UBI itu sendiri – secara definisi – jelas memiliki komponen ini. Terlepas apakah akan berdampak “baik” dan “buruk” pada aspek kehidupan lainnya, yang jelas Universal Basic Income sebagai sebuah program dan kebijakan memiliki elemen dasar untuk meningkatkan pendapatan kelompok miskin melalui transfer tunai. Langsung dan sederhana.

Namun demikian, persoalan menjadi sedikit lebih rumit dan kompleks manakala muncul pertanyaan apakah masuk akal untuk menggantikan seluruh program bantuan, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan lain-lain, yang selama ini menjadi senjata umum untuk penanggulangan kemiskinan, dengan sebuah sistem pembayaran tunggal seperti Jaminan Pendapatan Dasar ini? sebab, sumber utama pembiayaan untuk program ini tentu saja sama-sama berasal dari pajak. Oleh karena itu, bisa jadi UBI merupakan sebuah kebijakan yang solutif bagi sebagian orang dan negara, namun tidak selalu tepat untuk semua orang dan semua negara (universally best).

Sayangnya, hanya sedikit sekali eksperimen UBI yang tuntas dilakukan di negara berkembang. Menurut Banerjee, hanya tiga (3) skema eksperimen yang benar-benar bisa diklaim sebagai UBI di negara berkembang, yaitu eksperimen UBI di Madhya Pradesh-India, Skema Namibia, dan Bantuan Langsung Tunai di Iran. Sayangnya lagi, tak satu pun dari ketiganya ini yang di desain dan di evaluasi secara eksperimental. Ketiga program transfer tunai tersebut pun tidaklah benar-benar “universal”, tetapi masih menyasar kelompok tertentu (targeted). Periode pembayaran jaminan pun relatif sangat pendek, hanya satu sampai dua tahun. Alhasil, dampak maupun hasil evaluasi penerapan Jaminan Penghasilan Dasar ini pun masih dianggap belum ideal.

Namun demikian, bukan berarti program transfer tunai ini menjadi tidak efektif. Banyak sekali program-program penanggulangan kemiskinan di seluruh dunia ini yang menerapkan skema UBI namun tidak dilabeli sebagai eksperimen UBI. Bank Dunia mencatat ada 552 juta orang yang tinggal di negara berkembang dan menerima bantuan langsung tunai dalam berbagai bentuk dan beragam jumlah (2018). Meskipun tidak secara langsung diberi nama UBI, program-program ini memiliki kesamaan skema dan memberi kebebasan penuh pada penerimanya untuk memanfaatkan uang yang diterimanya itu.

Evaluasi Banerjee terhadap berbagai program tersebut menunjukkan dua fakta besar.

Pertama, evaluasi umumnya belum menemukan dampak negatif yang ditakuti banyak orang. Evans dan Popova (2017), seperti dikutip Banerjee, menemukan bahwa program transfer tunai rata-rata telah mengurangi pengeluaran untuk konsumsi “temptation goods”, seperti alkohol dan rokok (standar deviasi = 0,18). Dengan kata lain, penerima tampaknya lebih sedikit minum alkohol dan merokok. Temuan ini tentu sama sekali tidak mengurangi keseriusan penyalahgunaan minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang sebagai masalah bagi orang miskin, tetapi hal ini menunjukkan bahwa kekurangan uang mungkin menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba itu sendiri.

Dari sisi ketergantungan, Banerjee juga mengukur efek transfer tunai terhadap pasokan tenaga kerja yang merupakan ukuran paling nyata dari upaya penerima untuk meningkatkan kehidupan mereka sendiri. Banerjee lagi-lagi tidak menemukan bukti sistematis yang menunjukkan bantuan tunai ini menghambat atau mengendorkan semangat mereka dalam bekerja atau mencari kerja.

Kedua, evaluasi juga telah menemukan berbagai dampak positif yang sangat beragam, termasuk dalam hal: pendapatan, aset, tabungan, pinjaman, total pengeluaran, pengeluaran untuk makanan, keragaman makanan, kehadiran di sekolah, hasil tes di sekolah, perkembangan kognitif, penggunaan fasilitas kesehatan, partisipasi angkatan kerja, migrasi pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga, pemberdayaan perempuan, perkawinan, kesuburan, dan penggunaan kontrasepsi.

Hasil eksperimen memang berubah dan bervariasi secara substansial dari satu percobaan ke percobaan lainnya. Keragaman ini tentu menyiratkan bahwa penerima menghargai fleksibilitas yang diberikan oleh program transfer tunai. Artinya, jika selama ini para teknokrat melihat pengeluaran yang dilakukan oleh penerima bantuan dianggap kurang tepat sasaran karena digunakan diluar tujuan program, misal hanya untuk biaya kesehatan dan pendidikan, variasi pengeluaran setiap penerima itu (jika dievaluasi lebih detail) justru akan menunjukkan dimana sebenarnya masalah utama yang dihadapi oleh si miskin.

Sekalipun variasi pengeluaran itu kemudian dianggap “meleset” dari sasaran yang diinginkan pembuat program, namun di sisi lain, ia bisa menuntun kita pada persoalan dan kebutuhan utama yang lebih hakiki dari kacamata si penerima bantuan. Pemahaman seperti ini yang nampaknya masih sulit untuk diterima di negara berkembang, khususnya bagi para teknokrat yang terbiasa melihat dampak dan hasil sebuah program secara sempit.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *